Tetap di Jalan-Nya

Ilustrasi jalan yang lurus
Waktu tentu terus berjalan, dari detik berganti menit, dari menit berganti jam, dari jam berganti hari, dari hari berganti minggu, dari minngu berganti bulan, dari bulan berganti tahun, iya begitu seterusnya hingga bumi ini menemui ajalnya (Read: Kiamat). Bicara soal bangku pendidikan kini saya berada di titik yang dimana saya hanya menunggu pengumuman kelulusan di tingkat SLTA ini. Tentu sebelum saya menginjakkan kaki di tingkat SLTA ini saya harus melewati sekolah dasar dan SLTP.

Mari fokus ke masa-masa SLTP dan SLTA, di SLTP saya, MTs Negeri di Jakarta Selatan, dimana sekolah kami ini berada di bawah naungan Depag membuat sekolah kami berbeda dengan SLTP lain yang berada di bawah Diknas. Di sana kami mempelajari ilmu umum dan ilmu agama yang lebih banyak dibanding SLTP besutan Diknas.

Dari segi peraturan, kami yang bersekolah berlabel madrasah ini pun berbeda dari SMP, perbedaan yang menonjol ialah dari segi pakaian, khususnya pakaian anak-anak puterinya, mereka di haruskan memakai pakaian yang menutup aurat, seperti memakai kerudung tentunya. Madrasah kami tentu memanfaatkan kekuasaannya untuk mengarahkan kami ke arah yang baik, salah satunya mengimplementasikan firman-Nya untuk para anak-anak puteri, yang dimana arti dari firman-Nya itu ialah, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya  ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. Al-Ahzab: 59) dan “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.An-Nur: 31)

Iya pihak madrasah memanfaatkan kekuasaanya untuk mengarahkan kami selaku anak didik untuk taat kepada-Nya. Di samping peraturan mengenai pakain tadi, kami pun di haruskan melaksanakan sholat dzuhur berjamaah di masjid Darl El-Fikr. Kami pun dilatih melaksanakan sholat sunnah duha secara bersama-sama, dibiasakan membaca Qalam-Nya setiap pagi setelah kami semua berkumpul di masjid, dan ada juga acara yang bertujuan mengembangkan ke-kreativ-an kami serta mengembangkan bakat-bakat lain melalui kegiatan muhadoroh, sastra indonesia, dan satra inggris. Acara tersebut jualah yang membuat kami melepas kejenuhan, khususnya di kegiatan sastra indonesia.

Oh iya apakah sobat tahu? Di sana, di sekolah kami tercinta, ada razia yang lain dari sekolah lain, razia pacaran. Saat saya di sana seingat saya bagi murid yang terjaring razia akan terkena poin sebesar 75. Ada razia pacaran bukan berarti banyak murid yang berpacaran di sana, bukan. Razia di sini berlaku bagi mereka memiliki pacar. Entah dari mana guru kami tahu, mencari-cari informasi ke orang-orang yang dekat dengan murid-muridnya atau dari cara lain yang mungkin sobat pembaca terheran-heran. Iya ada pembicaraan-pembicaraan di antara kami murid-murid sana bahwa ada seorang guru yang memiliki kelebihan di luar nalar. Sehingga dengan kelebihan itu beliau tahu murid-muridnya yang sedang menjalin hubungan haram itu (read: Pacaran). Pacaran memang haram hukumnya, “...dan jangan kamu dekati zinah” (QS.Al-Israa: 32). Iya seperti yang saya sampaikan tadi di atas, pihak sekolah memanfaatkan kekuasaannya untuk menuntun kami ke jalan-Nya. Untuk mengakhiri pembahasan singkat dalam membahas madrasah kami itu saya ingin bercerita bahwa di sana kami pun diajarkan mengenai kejujuran. Contohnya kami di larang keras berbuat curang saat ujian, khususnya Ujian Nasional, dan bagi sesiapa di anatara kami yang berbuat curang di do’akan tak akan lulus. Andai  seluruh sekolah di seluruh dunia sperti itu, mungkin tingkat kejahatan semacam korupsi bisa dihilangkan, paling tidak diminimalisir.

Berlanjut ke SLTA, menginjak SLTA saya merasakan suatu yang berbeda, salah satunya tak ada lagi peraturan mengenai pakaian yang menutup aurat bagi siswi-siswinya yang beragama Islam. Kalau siswa-siswanya telah memakai pakaian yang menutup aurat, seperti SMA Negeri pada umunya, siswa-siswanya mengenakan celana panjang baik yang berwarna putih maupun abu-abu.

Melihat ada siswi-siswi yang berkerudung membuat saya mengakat jempol, dan mengucapkan Alhamdulillah, rasa salut saya bertambah jikalau ada di antara mereka yang berasal dari sekolah umum sebelumnya, SMP. Tak sedikit pula di anatara mereka yang berpakaiannya sesuai syari’at. Alhamdulillah mereka masih bisa taat di tengah peraturan sekolah yang tak berdasar dengan 2 perkara yang ditinggalkan Rosulullah S.A.W., Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Teruntuk  teman-teman, kakak-kakak kelas, adik-adik kelas saat saya di MTs saya dulu. Kalian pun juga menemukan teman-teman di SLTA seperti yang saya bicarakan di atas bukan? Salutkah kalian seperti saya yang salut kepada mereka? Saya kira kalian pun salut kepada orang-orang seperti itu. Mereka bisa taat di dalam instansi yang tak menerapkan hukum Allah S.W.T., berbeda dengan teman-teman, kakak-kakak, adik-adik perempuan kita dulu, karena dulu kita dulu diharuskan oleh pihak madrasah.

Dan terbukti selepas dari madrasah kita ada yang melepas hijabnya. Sangat disayangkan, padahal kalian telah 3 tahun mengenakan hijab, walaupun mungkin hanya di madrasah kita saja. Bukan kah kalian tahu itu bukan murni buah pikiran pihak madrasah untuk menerapakan peraturan semacam itu? Bukan kah itu perintah Rabb kita dan perintah Rosul kita?. Perintah yang dimana itu semua akan mendatangkan kebaikan untuk kalian?

Bukankah telah gambalang firman-Nya di dalam surat Al-Ahzab ayat 59 yang telah saya ingatkan kembali di tulisan saya ini bahwa itu semua agar kalian para perempuan mudah di kenal dan tidak diganggu. Mudah di kenal, kalian akan dikenal sebagai muslimah karena memakai hijab, hijab itu identitas seorang muslimah, iya kan?. Agar kalian tidak diganggu, iya agar kalian tidak diganggu oleh lelaki yang terpancing untuk mengganggu kalian karena kalian membuka sesuatu yang harusnya ditutup. Apa kalian memang sengaja menggoda kami kaum adam? Saya rasa tidak kalian tidak begitu, karena anak sholeha tak begitu bukan?.

Anak sholeha, bukankah orang tua kalian sangat berharap anaknya menjadi anak sholeha? Bukan kah itu do’a yang mungkin terus orang tua kalian ucapakan saat berdo’a kepada-Nya baik selepas sholat maupun di luar sholat?. Bukan kah kalian jua ingin menjadi anak yang sholeha? Yang dimana jalannya tentu dengan taat kepada-Nya, salah satunya dengan menutup aurat dengan syar’i, menutup bukan membalut.

Belum, belum telat walaupun kalian telah melepas kebiasaan berhijab seperti di madrasah dulu, belum telat karena kalian belum dihijabkan oleh keluarga kalian dengan 5 lapis kain putih. Ada yang membuka hijabnya untuk mendapatkan pekerjaan, apa bos mu yang memberi rizki? Bukannkah Rabb-mu? Bukankah kalian pernah dengar perihal hadits yang kurang lebih isinya kita akan diberi yang lebih baik jikalau kita meninggalkan sesuatu karena Allah, meninggalkan sesuatu dalam rangka taat kepada-Nya, dalam hal ini meninggalkan larangannya yang larangannya kamu dilarang menanggalakan penutup auratmu.

Jika ada yang ingin mencari pendamping hidup lalu menangganggalkan penutup auratnya apa tujuannya mencari pendamping hidup yang jelas kurang baik? Saya pikir tak ada yang mencari pasangan hidup yang kurang baik. Berbicara soal ketaatan ini teringat kutipan seorang ustadz mualaf, ust.Felix Siauw, “Hijab tanpa tapi, taat tanpa nanti”. Karena tak ada yang menjamin sedeitik, semenit, sejam, sehari selapas pembaca membaca tulisan ini pembaca akan tetap hidup. Bukan kah syarat meniggal tak harus tua? Bukan kah syarat meninggal tak harus sakit?

Semoga dengan membuat tulisan ini penulis dapat mendapat pembelajaran untuk terus belajar memperbaiki diri yang penuh noktah-noktah hitam ini. Semoga pula pembaca membuka hatinya dan pikirannya sehingga bagi sesiapa yang belum atau yang telah menanggalkan identitasnya sebagai muslimah akan mendapatkan cahaya taufiq dah hidayah dari-Nya. Bukankah jendela yang ditutup akan menghalangi cahaya menyeruak kedalam ruangan? Jadi jendela itu perlu dibuka agar cahaya itu masuk, sama dengan halnya mencari hidayah-Nya, kita harus membuka hati dan pikiran serta diiringi usaha mencari hidayah itu. Dalam tulisan ini penulis hanya ingin ber-amar ma’ruf, salah satu perintahnya jua. Mungkin saya sudahi saja tulisan ini, kurang lebihnya mohon maaf, kesalahan datang dari saya, kebenaran tentunya milik Allah S.W.T,.


Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin atau (Sekadar) Pemimpi, Tentukan Sekarang!

Tujuh Hal Mengenai Naja, Si Anak Cerebral Palsy Penghafal 30 Juz Alquran

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*