Berbungkus-bungkus Kejujuran

pixabay.com
Setiap awal, akan ada akhirmya. Kecuali sifat Allah yang kekal, tak berakhir. Perhelatan Ujian Nasional SLTA tahun ini memantik teringatnya ingatan akan Ujian Nasional yang pernah aku jalani, tepatnya tanggal 13 April 2015, kami melaksanakan Ujian Nasional. Akhir dari masa putih – abu-abu ku yang telah aku geluti hampir 3 tahun. Ada pahit, ada manis, yang jelas mau tak mau aku cecap semua itu. Sebagaimana telah banyak diketahui bahwa Ujian Nasional menjadi momok yang cukup menyeramkan bagi sebagian murid sekolah dikelas akhir baik itu ditingkat SD (Sekolah dasar), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), maupun tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir). Untuk meredam kekhwatiran itu ada yang mempersiapkan diri dengan bersungguh-sungguh belajar. Di sebagian sekolah ada yang memfasilitasi murid-muridnya dengan menambah jam pelajaran khusus mendalami mata pelajaran yang akan diujikan diujian nasional, program tersebut biasa disebut PM (Pendalaman Materi).

Ada yang mempersiapkan diri matang-matang, ada juga yang mengambil jalan yang sumir. Ada yang dengan tenang menempuh ujian tersebut bukan lantaran telah siap baku hantam dengan soal-soal yang akan diujikan, melainkan bocoran yang diandalkan sehingga “mereka” berleha-leha tak memaksimalkan sisa waktu yang ada untuk bersungguh-sungguh belajar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir disetiap perhelatan Ujian Nasional akan dinodai oleh bocoran yang tersebar secara sporadis.

Kala itu, aku pun telah berencana menggunakan bocoran, padahal waktu itu terhitung ujian kurang lebih masih 6 bulan lagi. Sebab saat di SMP dulu pun saya “mengahalalkan” hal nista itu, mungkin hal tersebut yang membuat aku melegitimasi hal senista itu. Nista, ya saya katakan hal itu nista setelah saya dekat dengan salah seorang teman yang bernama Hafidz. Hafidz Al-Hakim nama lengkapnya. Aku mulai dekat dengannya tepat saya dinasihati olehnya bahwa nista sekali menggunakan bocoran untuk lulus Ujian Nasional. Masih hangat diingatan bagaimana aku bisa menjadi dekat dengannya, sebab pesannya yang halus yang tak dapat dinafikkan oleh hati ini.
***
“ah lu mah payah, thra, masa udah menyerah gitu aja dengan mengharapkan bocoran,” seloroh Hafidz menggodaku. “ya mau bagaimana lagi, UN itu kan sulit, fidz,” jawabku datar. “ah payah nih, kan masih terbilang lama ujiannya, yuk kita mulai bersungguh-sungguh belajar , in syaa Allah kita bisa, kita kan punya Allah,” Kata Hafidz menyemangatiku. “hmm iyaya.” Jawabku sambil menunduk, dan hati ini pun membenarkan apa yang diakatakan Hafidz kepadaku. Oh iya,  Hafidz dan teman-temanku memanggilku Fithra, nama panjangku Fithra Rodji.

“yuk, thra, kita ke masjid, dikit lagi masuk waktu sholat jum’at,” ajak hafidz memecah keheningan, seraya berjalan menuju masjid. “ayok, fidz!,” jawabku semangat. Saat menuruni tangga aku menanyakan soal Try Out dari salah satu Universitas swasta, Universitas Insan Kamil, biasa disingkat UIKA. “eh senin TO (Try Out) UIKA ya?,” tanyaku pada Hafidz. “iya, benar, thra.” Jawab Hafidz singkat.

Tak lama kami menunggu adzan di masjid Darul Ilmi, masjid SMA kami, adzan itu pun akhirnya di kumandangkan, oleh salah seorang adik kelasku, Ilham, yang terkenal merdu suara adzannya. Adzannya bak menyihir jamaah seisi masjid, semua terdiam menikmati adzan yang seakan menumpahkan bulir-bulir embunnya ke hati para pendengarnya. Selepas adzan ada yang menunaikan sholat qobliyah dan ada juga yang masih asik bercengkrama dengan teman di dekatnya. Di tengah menunggu adzan ke dua, maklumat pun disampaikan oleh Pak Radhinal, guru biologi di SMA ku yang kebetulan beliau juga mengemban tugas sebagai pebimbing ekskul Rohis di sekolahku. Rohis, akronim dari kalimat Rohani Islam, sebuah ekskul yang menggawangi kegiatan-kegiatan yang kental dengan khasanah keislaman. Dalam maklumatnya beliau mengingatkan para jamaah untuk me-non-aktifkan gadget para jamaah, demi menjaga kekhusukan sholat jum’at. Beliau dan pemaklumat lainnya pun tak bosan-bosannya mengingatkan para jamaah hadits mengenai batalnya sholat jum’at jika kita berbicara sekalipun bicara yang bertujuan mengingatkan jamaah lain yang berbicara untuk diam. Tepatnya, bunyi dari arti hadits tersebut seperti ini,

“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari jum’at, ‘diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ sungguh engkau telah berkata sia-sia” (HR. Bukhori no.934 dan Muslim no.851)”

Selapas pak Radhinal menyampaikan maklumat berisikan hadits tadi hampir semua jamaah pun diam, ingin mengikuti ibadah jum’at dengan khidmat, walaupun masih saja ada yang tak mengacuhkan maklumat tersebut. Pada kesempatan kali itu khotib membawakan khotbah yang aku tangkap bertema pentingnya kejujuran di dunia pendidikan.

Tak terasa sholat jum’at pun rampung, dan jam dinding di masjid menunjukkan pukul 12.32 Wib, 13 menit lagi menuju dimulainya KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) jam ke 7-8. Waktu yang ada aku manfaatkan dengan makan siang di kelas, yang sebelumnya aku menyempatkan diriku untuk membeli nasi rames di warung pakdeh Jafar sembari naik menuju kelas. Kebetulan letak kantin sekolahku memang dekat dengan masjid Darul Ilmi. Tak lama aku menimati makan siangku, Hafidz pun menyambangiku. Dengan jengkel ia berkata, “ah parah, ga ngajak-ngajak gua kalo makan, gua kebawah dulu dah beli makanan”. Sebelum aku merespon perkataannya sekonyong-konyongnya Hafid ngeloyor turun menuju kantin.

Bermaksud menunggu Hafidz, agar dapat menikmati makan siang bersama-sama aku pun mengutak-atik hand phone-ku untuk sekedar melihat timeline twitter. Tak lama hafidz tiba dengan membawa makanannya dan juga membawa air 4 gelas air mineral. “lu haus apa gimana, fidz? Beli minum sampe 4 gelas gitu,” selorohku. “haha kaga, ini yang 2 untuk gua. 2 lagi buat yang mau,” jawab Hafidz. Lalu Dzikri yang kebetulan bergabung bersamaku sebelum Hafidz tiba sekonyong-konyong mengambil 2 gelas air mineral yang telah dikeluarkan  Hafidz. Dia langsung meletakkan 1 gelas di depanku, dan yang satu lagi langsung ia minum dengan sebelumnya meminta izin kepada Hafidz dan tak lupa ia juga mengucapkan terimkasih. Tak lama setelah kami mengakhiri makan siang, bel pun berbunyi, pertanda masuk KBM jam ke 7-8. Bu Rachmi, guru bahasa Indonesia, kami pun memasuki kelas dengan mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum,”. “wa’alaikumussalam.” Salamnya pun dijawab dengan serentak oleh teman-teman seisi kelas. Berhubung kami akan menghadapi Try Out pada hari senin, bu Rachmi pun membahas soal ujian nasional yang pada pertemuan sebelumnya dibagikan.

Kami pun mengajukkan beberapa pertanyaan, diantarannya soal kalimat kausalitas dan kalimat silogisme. Bu Rachmi pun mendalami materi-materi yang kami ajukan. Seisi kelas pun aktif mengikuti pelajaran bahasa Indonesia siang itu. Tak jarang Bu Rachmi pun menyelipkan humor-humor yang memantik gelak tawa seisi kelas, walaupun tak jarang humornya terdengar renyah, namun aku paham, Bu Rachmi telah berusaha mencairkan suasana kelas pada siang itu. Bu Rachmi yang kebetulan seorang Muslimah pun tak bosan-bosannya mengingatkan ujian nasional yang hanya menyisakan beberapa bulan lagi. Tak ragu Bu Rachmi juga menyentil kami, khususnya aku yang masih suka berbuat tak adil pada saat ujian. “kalian gregetan gak sama pejabat-pejabat di pemerintahan sana yang tak jarang terlibat kasus korupsi,?” tanya Bu Rachmi dengan bahasanya yang tak membaku memulai untuk menohok hatiku. “gregetan, bu! Pendidikan doang tinggi, tapi melakukan hal setercela itu. Udah digaji rakyat dengan gaji yang tinggi padahal,” Jawab temanku, Ronny, dengan sedikit geram dari belakang kelas. Seisi kelas pun mengamini apa yang dikatakan Ronny. “nah, jadi kalian saat ujian jangan curang ya. Sebab bisa dikatakan pebuatan se-durjana korupsi itu dimulai dari ketidak jujuran kita sejak dini, salah satunya tak jujur saat ujian.” Seloroh Bu Rachmi. Sontak banyak yang tertohok hatinya dengan apa yang dikatakan Bu Rachmi, salah satunya aku. Aku pun tertunduk malu.

Bel pertanda berakhirnya proses KBM hari itu pun usai. Sebelum pulang kami semua pun berdo’a, berdo’a dipimpin oleh salah seorang dari kami, pemimpin do’a mengintrusikan kami semua berdo’a menurut kepercayaan masing-masing. Saya pun langsung menuju tempat parkir. Padat sekali parkiran kami, dipenuhi kuda besi para pejuang yang haus akan ilmu. Aku pun tak mengalami kesuilitan mengeluarkan motorku, sebab tadi aku datang tapat saat bel pertanda pra KBM kami dimulai, pra KBM di sekolahku ialah tilawah dalam kelas bagi yang muslim di setiap kelas dan dipimpin oleh seorang guru dari sumber suara, kami mengikuti suara yang keluar dari tiap-tiap pengeras suara yang terdapat dalam setiap kelas. Bagi rekan-rekan kami yang Kristiani dan Protestan beribadah pagi di ruang yang biasa kami sebut AVI (Audio Visual).

Aku pun melintasi gerbang sekolah yang telah menganga sepenuhnya untuk memudahkan kami untuk pulang, disana telah ada pak satpam yang telah siaga melepas sesiapa yang ingin meningggalkan sekolah, aku pun menarik ujung-ujung bibirku dan aku lemparkan kepada pak satpam yang sedang bertugas, beliau pun membalas senyumku dengan ramah. Aku keluar dari sekolah, mengikuti jalur yang ada menuju dimana rumahku berada.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum,” ucapku setengah teriak. Sampai 2 kali adikku baru muncul dari balik pintu dan menuju pagar dengan setengah berlari. “tunggu, bang..,” kata adikku sambil berlari. Aku pun tak menjawab apa yang dikatakan adikku. Setelah pagar yang dibuka aku pun memasuki motor sambil melempar pertanyaan kepada adikku. “mama, mana, da?” tanyaku kepada si bungsu, Nada Safitri nama lengkapnya. “ada di dalam, bang, lagi masak,” jawabnya sembari ngeloyor masuk ke dalam rumah. Setibanya di dalam rumah, aku langsung menuju dapur menyalami Mama. “eh udah pulang, bang?,” tanya mamaku berbasa-basi. “iya, ma. Aku langsung ke kamar ya, ma,” jawabku. “iya sana istirahat, nak” kata mamaku hangat. Akupun langsung melemparkan tubuhku ke atas kasur setelah sebelumnya mencuci kaki dan mencuci muka. Tak terasa aku tak kuasa menahan keletihan, dan terbuai kepangkuan mimpi.

“tok.. tok.. tok...,” pintu terdengar diketuk. “bang.. bang... sudah adzan, sholat ashar,” teriak adikku dengan suara nyaringnya. Aku sebenarnya mendengar pintu diketuk dan apa yang dikatakan adikku, namun aku tak mengacuhkannya. Mengetahui pintu tak dikunci, adikku ngeloyor masuk. “bang.. bang... bangun!,” pinta adikku sembari menggoncang-goncangkan tubuhku.

“sholat, bang! Udah adzan,” katanya lagi. “iya, da, nanti abang sholat,” jawabku setengah jengkel karena aku dibangunkan. Namun aku langsung menyembunyikan kejengkelanku dengan meledeknya. “eh, yang udah nyuruh abang sholat, udah sholat belum?,” selorohku. “hehe iya aku belum sholat, bang. Ayok kita sholat, abang imamin, aku ambil wudhu ya, kita sholat di sini,” jawab adikku dan langsung menuju kamar mandi mengambil wudhu. Mau tak mau aku pun tak mengulur-ngulur waktu sholatku, karena adikku mengajak untuk sholat berjamaah saat itu juga.

Selepas sholat aku langsung turun ke bawah bersama Nada, menemaninya bermain. Selepas bermain Nada diajak mandi oleh Mama. Aku beranjak ke atas, menuju kamarku, bersiap-siap untuk mandi. Waktu maghrib pun datang. Ayah seperti biasanya, pulang kerumah pukul 20.00 Wib. Setelah berbincang-bincang ringan dengan ayah seputar sekolahku, aku pun meminta izin untuk ke kamar. Di dalam kamar, aku pun hanya berleha-leha saja sambil bermain hand phone. Di salah satu aplikasi messenger aku pun membaca broadcast dari salah seorang teman di grup kelas. Yang inti dari pesannya itu mengatakan bahwa potensi otak manusia itu sangat besar, sebab otak diciptakan oleh Yang Maha Besar. Jadi terlalu bodoh kiranya langsung menyerah begitu saja untuk menghadapi Ujian Nasional, sebab di depan sana masih banyak persoalan yang begitu kompleks, yang pasti membutuhkan usaha yang jauh lebih keras dalam menjalaninya dibanding hanya sekadar Ujian Nasional.
Dalam pesan itu pun tertukil isi dari kalam-Nya,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” (QS. Al-Baqarah: 286)

Tak terasa pesan itu memantik semangatku, selepas membaca itu aku langsung mengambil buku latihan-latihan Ujian Nasional dan langsung aku mencoba mengerjakannya. Aku mencoba mengerjakan matematika. Ya begitulah matematika, jikalau kita dapat menemukan jawabannya, entah apa yang membuat diri ini untuk terus mendalami. Setelah menutup buku, ada suara yang tak asing di telingaku. Ya itu suara perempuan yang telah melahirkanku, Ibu Zhafira Amaliyah “nak, jangan lupa sholat Isya! Lekas tidur!,” kata mamaku mengingatkan sekaligus memerintahku.

“iya, siap, ma!” jawabku semangat. Terdengar suara kaki mama ku menjauh dan setelah suara kaki itu hilang aku langsung beranjak mengambil air wudhu. Selepas sholat aku pinta kepada Sang khaliq agar aku diberi kemudahan dalam menjalankan apa-apa yang ada di dunia ini. Lalu aku langsung mematikan lampu dan tidur.
Esok harinya, aku pun langsung berolahraga di halaman depan rumah setelah sholat subuh. Dilanjutkan jogging di salah satu jogging track di dekat rumah. Ya, aku mengisi liburan hari sabtu-minggu dengan berolahraga pagi harinya. Pada hari itu, sore harinya, jam 14.00 wib aku ada janji untuk bermain futsal bersama teman-teman satu angkatan di SMA. Kami bermain mini cup di sana. Yang biasanya kelasanku tak dapat menjuarai cup tersebut, namun kali ini kami menyandang gelar juara. Selepas bermain kami pun merapat ke rumah salah seorang teman kami, Zidni. Tak semua ikut berkumpul di rumah Zidni, hanya ada 12 orang yang menyempatkan dirinya untuk bermain ke rumah Zidni untuk sekedar ngobrol ngalur-ngidul. Ba’da Isaya kami pun bubar.
“bro, cabut yak! Thanks nih udah mau direpotin,” kataku kepada Zidni.
“yoi, kaga ngerepotin kok tenang aja. Jangan kapok-kapok ya main ke sini!,” jawab Zidni.
“iya, zid,” jawab kami hampir bersamaan.
“balik ye, Assalamu’alaikum,” kata ku, diikuti salam dari teman-temanku.
“yoi, wa’alaikumussalam. Hati-hati lu pada!” jawab Zidni setengah teriak yang diikuti suara kenalpot motor-motor kami.
Kami pu berpencar, pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah aku ditanya oleh orang tua ku, dari mana aku sehingga baru pulang pada hari itu. Aku katakan yang sebenarnya.
“kamu dari mana, nak?” Tanya mama ingin tahu.
“tadi sehabis main futsal, aku dan teman-teman main ke rumah         Zidni, ma.” Jawabku datar.
“Oh yasudah, sana makan!,” perintah mamaku.
“aku sudah makan, ma. Aku langsung ke atas ya, ma.” Jawabku atas permintaan mamaku.
“yasudah, jangan lup sholat ya, nak!,” kata mamaku mengingatkan.
“oke, ma hehe.” Jawabku.
Setelah aku masuk kamar, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur untuk melepas lelah. Mengingat aku belum sholat isya, aku langsung melompat dari atas kasur untuk berwudhu dan mendirikan sholat. Setelah sholat tak lupa aku berdo’a kepada Allah Swt., selepas itu aku langsung mematikan lampu kamarku sebelum rehat. Tak lama aku memejamkan mataku aku pun tertidur. Sebelum matahari muncul dari ufuk timur aku sudah terbangun, untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Pada hari itu aku melewatinya dengan kegiatan yang bisa dikatakan monoton, olah-raga pada pagi harinya dan setelah itu berleha-leha di rumah dan sesekali membuka buku.
***
            Hari senin pun menyambangi, hari dimana kami akan berperang dengan soal-soal TO yang aku duga akan cukup kompleks. Namun ya begitulah aku, tak terlalu menjadikan TO sesuatu yang harus aku seriusi. Saat aku tiba di sekolah aku tak ambil pusing untuk belajar, berbeda dengan Hafidz yang entah mengapa ia sangan antusias menyambut TO tersebut. Aku hanya berkumpul-kumpul dengan kawan-kawan yang lain. Di sana lah imanku digelayuti syaitan-syaitan yang berusaha membuatku terjerembab, aku diberi kunci jawaban oleh salah seorang temanku, Ardy namanya. “Thra, nih catet kunci jawabannya,” kata Ardy memerintah. “kunci jawaban TO?,” tanyaku keheranan. “iyalah, apalagi emangnya,” jawab Ardy. “Lah, TO aja ada ya kunci jawabannya,” gumamku. “ udeh, lu mau apa gak? Kalo mau gue sebutin nih,” sambar Ardy. “hmm yaudah boleh.” Jawabku ragu. Lalu Ardy pun mendikte ku kunci jawabannya dari 6 mata pelajaran yang akan diujikan nanti, lengkap dengan ciri-ciri soal pertamanya. Jujur saja, awalnya aku pun hanya berjaga-jaga, makanya aku mau menerima kunci jawaban tersebut. Ya walaupun pada akhirnya aku bertekuk lutut tak kuasa menahan gempuran anak-anak panah yang berasal dari syaitan-syaitan yang tak jemu-jemunya menggempur sehingga Imannya tercoak-coak.

            TO usai tepat saat adzan ashar bersayup-sayup merdu. Kebetulan aku sekelas dengan Hafidz pada ujian tersebut. Saat aku menuruni anak tangga, dia tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang dan mengajakku untuk sholat terlebih dahulu sebelum pulang. “eh thra, yuk ashar-an dulu,” ajak Hafidz. “oke, fidz” jawabku semangat. Lalu kami pun menuju masjid Darul Ilmi, dan berpisah saat mengambil wudhu. Kami pun sholat ashar dan kembali bercengkrama selepas itu. “susah juga ya tadi. Hehe,” kata Hafidz membuka pembicaraan. “hehe iya susah juga,” jawabku cepat. Belum sempat Hafidz menimpali pembicaraanku, lalu temanku Fahri meledek aku. “thra? Tadi kertas apa yang lu keluarin? Contekan ya haha,” seloroh Fahri. Dengan wajah tertunduk aku mengiyakan ledekan Fahri, “hehe iya.”

            “yah payah lu, thra.. haha,” timpal Hafidz ikut meledekku. “hehe abis susah sih..,” jawabku sekenanya. “ya namanya ujian susah, thra.. payah dah lu mah,” kata Hafidz agak jengkel mengetahui aku berlaku curang. “ajarin gua trigonometri dong, fidz,” kata ku mengalihkan pembicaraan. Lalu Hafidz pun mencoba mengajariku, begitulah Hafidz, mengajari tanpa menggurui. Aku pun jadi antusias mengikutinya. Namun saat mengajariku aku, Hafidz kembali mengungkit kejadian tadi. “ayo coba kita kerjain soal nomer 4, jangan pake kunci jawaban ya haha,” kata Hafidz menantangku untuk beradu jawaban sambil menunjuk soal yang dimaksud. “oke!,” sambutku semangat. Saat memeriksa kunci jawaban untuk mengoreksi hasil kerja kami, ternyata aku salah sedikit di langkah akhir yang mengakibatkan jawabanku salah. Sedangkan Hafidz dapat menjawabnya dengan tepat.

            Namun dalam menyikapi hal itu, Hafidz meledekku kembali dengan mengungkit-ngungkit soal kunci jawaban saat ujian hari itu. “yahaha salah karena gak pake kunci jawaban ya, thra? Haha,” tanya Hafidz dengan wajah yang begitu membuat jengkel. Aku pun tersinggung dengan ucapan Hafidz walaupun ia hanya bercanda. Aku pun tak menghiraukan apa kata Hafidz, aku menunjukkan ketidaksukaanku terhadap ucapannya melalui sikapku. Akupun mengatakan kepadanya bahwa belajar bareng sore itu disudahi saja, dan aku mengajaknya pulang. Saat menuju parkiran aku tak mengeluarkan satu patahpun kata. Aku keluar dari parkiran dengan tergesa-gesa dan hanya mengucapkan salam perpisahan untuk hari itu. “Fidz, gua duluan..” kataku seraya keluar dari parkiran. Hafidz yang belum menaiki motorku pun langsung menjawabnya, “iya, thra, hati-hati”.

            Menyadari sikapku yang asing ke-esokan harinya Hafidz langsung menanyakan sikapku kemarin di kelas. Sebelum pra KBM, tilawah di kelas, aku yang lebih dahulu tiba di sekolah pada hari itu tengah duduk sibuk dengan HP-ku sambil menunggu komando tilawah dari pusat suara. Dari balik pintu muncul Hafidz yang melangkahkan kakinya menuju mejaku. “Assalamu’alaykum, thra,” kata Hafidz membuka percakapan kami. “wa’alaikumussalam,” jawabku acuh tak acuh. “eh lu kenapa? Dari kemaren tingkah lu beda. Kalo ada yang ganjel di hati lu, kasih tau aja,” tanya Hafidz. “engga kenapa-kenapa,” jawabku. “yah lu mah gitu. Kasih tau gua lah lu kenapa,” desak Hafidz. “hmm gini, gua kurang suka ledekkan lu yang berlebihan kemaren, lu bahas itu mulu, gak ada habis-habisnya,” jawabku berterus terang. Kemudian Hafidz dengan cara berbicaranya yang mudah dimengerti memulai alasannya, mengapa ia berlaku demikian.

            Hafidz memulainya dengan meminta maafku atas ucapannya yang menyinggungku. Ia pun berkata bahwa sebenarnya ia bermaksud membuatku malu agar aku dapat menolak kunci jawaban yang beredar untuk saat menghadapi ujian-ujian kedepannya. Dalam argumennya ia bertitah bahwa kejujuran haruslah dipupuk sedini mungkin. Dari penjelasannya aku pun mengerti mengapa ia berlaku demikian. Aku pun memaafkannya dan juga berterimakasih kepadanya sebab apa yang dilakukannya adalah manifestasi dari kepeduliannya terhadapku.
***
            Waktu pun mengalir begitu saja bak air yang terus mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dengan bekal untuk menantang soal-soal UN aku pun siap tak siap harus mengerjakan soal-soal yang ada. Pada hari itu, senin 13 April 2015, kami seluruh siswa/i akan berjibaku dengan soal-soal UN sampai 2 hari kedepannya. Aku yang telah berusaha mempersiapkan bekal tersebut ternyata dibuat pusing juga sebab soal-soal yang cukup kompleks. Aku pun berdo’a terus selepas  UN agar nilaiku memuaskan. Tak lupa aku pun ber’doa juga soal Perguruan Tinggi yang kutuju serta memikirkan Perguruan Tinggi yang akan kujadikan tempat perlabuhan selanjutnya dalam menggores-goreskan tinta perjuanganku dalam mewujudkan cita-cita yang cerah.

            Tibalah pada pengumuman nilai UN, nilaiku tak terlalu mengecewakanku, namun cukup disayangkan juga karena hanya mendapat nilai dengan rata-rata 75. Namun ya tentu ada kepuasan tersendiri sebab itu hasil jerih payahku. Singkat cerita aku telah berjuang semampuku untuk mendapatkan Perguruan Tinggi Negeri, namun mau dikata apa, aku tak diterima dimana-mana.

            Aku memutuskan untuk bekerja saja pada tahun itu dan mencoba tes kembali pada tahun berikutnya, dengan dukungan dari banyak teman, termasuk Hafidz.Teman-temanku tak jengah-jengahnya mengingatkanku agar terus istiqomah di jalan kejujuran walau aku mendapat hasil yang pahit. Aku berusaha untuk belajar ditengah waktu bekerjaku, aku membeli buku-buku SBMPTN dari hasil kerjaku. Bi iznillah, aku pun dapat melihat namaku di jajaran nama siswa/i yang di terima di jurusan Administrasi Negara UGM 2016. Ya! Usahaku serta kejujuranku berbuah manis. Mungkin inilah yang terbaik untukku, dan tidak untuk pilihanku yang lalu. Senada dengan firmannya,

“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

Pun juga benar pepatah mahsyur yang ditelinga kita, “Man jadda wa jadaa, siapa yang bersungguh-sungguh akan menuai kesuksesan.”
Tak dipungkiri keluargaku pun berbahagia dan bersyukur atas diterimanya aku menjadi Mahasiswa Baru di Universitas Gajah Mada.
Setengah jam setelah pengumuman, aku pun di chat oleh Hafidz, “Sob, gimana SBM-nya?,” tanyanya penasaran.
“Alhamdulillah, fidz :’),” jawabku.
“wah, alhamdulillah apa nih? Diterima dimana?” tanya Hafidz semakin penasaran.
“diterima di UGM guaa hehe jurusan Admintrasi Perkantoran...” jawabku bahagia.
“Alhamdulillah,bro.. usaha lu gak sia-sia. Sukses ya di UGM-nya,” katanya lagi.
“iya, alhamdulillah. Aamiin... Lu juga sukses ya di UNPAD-nya hehe,” kataku menyemangatinya balik.
“aamiin... hehe “ jawabnya singkat.

Ah, alhamdulillah.. sangat disyukuri nikmat yang begitu segar ini, walaupun butuh perjuangan menahan dahaga yang begitu mencekik leher sebab ditahun pertama kelulusanku aku tak diterima dimana-mana. Pikiranku pun melayang-layang, menyambangi waktu dimana aku kenal Hafidz sampai akhirnya aku memutar kendali kapal tuk mengarungi asam-manisnya kehidupan berbekal berbungkus-bungkus kejujuran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin atau (Sekadar) Pemimpi, Tentukan Sekarang!

Tujuh Hal Mengenai Naja, Si Anak Cerebral Palsy Penghafal 30 Juz Alquran

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*