Mudik yang Begitu Puisi*


Oleh: Asrul Pauzi Hasibuan

Mudik adalah rindu yang kemudian ditumpahkan pada tanah-tanah kelahiran kita –atau tanah asal keluarga kita. Semua akan basah kemudian tumbuh reragam kenangan yang mekar kembali dalam ingatan. Bersemi dalam nuansa tenang yang fitri saling berdamai pada yang lalu-lalu, saling memaafkan satu sama lain. Pada momen itu, fitri menjadi sebenar-benarnya fitri, selepas semua saling melapangkan dada untuk saling memaafkan, begitu suci.

Mudik adalah sesuatu yang dirindukan, bagi banyak orang tua yang ditinggal anaknya merantau kelain kota, provinsi, pulau dan juga negara bahkan lain benua. Banyak moda transportasi yang kemudian pemudik gunakan, sesuai jarak dan terlebih lagi kemampuan.

Pada suatu kesempatan penulis pulang ke kampung halamannya. Kampung yang dari sanalah asal-usul keluarganya berasal, suatu desa di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Dengan moda transportasi kendaraan roda empat yang tentu akan membawa banyak cerita dan keseruan, sebab waktu yang dihabiskan dalam perjalanan cukup lama, kurang lebih 3 hari.

Keseruan itu hadir sebab keikhlasan dan kerinduan, ikhlas menjalankan sesuatu yang cukup membuat penat demi melepas kerinduan bertemu sanak saudara tercinta di kampung halaman. Tidak dipungkiri, kepenatan itu menghampiri, di tengah kondisi lalu lintas yang padat, tak bisa diajak kompromi. Namun, semua itu terobati, dengan bayang-bayang perjumpaan sanak famili di kampung halaman yang telah lama dirindui.

Keseruan itu bisa muncul dari tawa-tawa seisi kendaraan yang acap kali menggelegar sebab guyonan-guyonan khasnya. Pun dengan ketidaksabaran adikku yang berucap, “aku mau berenang di sungai saat sampai di kampung nanti, bang”, katanya padaku. adikku mengatakan keinginannya dengan senyum yang mengembang. Bayang-bayangnya telah sampai pada keseruan-keseruan di kampung halaman nanti.

            “iya, nanti kita berenang di sungai juga memancing ikan ya nanti di kampung”, jawabku yang membuatnya semakin tak sabaran untuk segera tiba di kampung halaman. Ditambah dengan harapan-harapannya ketika sudah sampai di kampung. Sampai harapannya tentang jumlah THR yang akan di dapat. THR, Salah satu alasan kenapa banyak anak-anak merindukan hari raya Idul Fitri.

Di kampung, banyak sesuatu yang tidak kita dapatkan di tengah rutinitas kehidupan kota metropolitan, Jakarta. Di kampung, segala sesuatunya dapat melepaskan kepenatan yang sering kali didapat di kehidupan kota. Senyum dari nenek-nenekku; Desau aliran sungai yang begitu puisi; Kesiur angin yang menciptakan simfoni ketika dedaunan pohon kelapa bergesekan; Suara-suara jangkrik yang setia di malam hari. Begitu masih alami. Puisi sekali.

Di kampungku, ada semacam budaya membuat dodol dalam skala besar untuk menyambut hari yang fitri. Dodol yaang terus diaduk dalam waktu berjam-jam dalam kuali yang amat besar dan dikerjakan dua orang atau lebih. Terus diaduk, meghindari dodol yang kelewat masak (gosong) sebab mengendap tidak diaduk secara kontinyu. Sebelum dodol dituang kedalam tikar yang dianyam dan dibentuk semacam tabung dari daun pandan. Bocah-bocah terburu-buru mendekati tempat pembuatan dodol itu, mereka menginginkan bubur dodol tersebut: dodol yang sedikit lagi akan matang. Begitu lembut teksturnya dan begitu manis rasanya. Dodol itu di kampungku khususnya dan umumnya di Sumatera Utara disebut “alame”.

Dalam meyambut hari yang fitri itu pun kami membuat “lomang”, ketan yang dimasak di dalam bambu yang sebelumnya dalam bambu tersebut di lapisi daun pisang dan kemudian dimasak dengan cara dibakar. Makanan yang satu ini cukup familiar dibanding alame.

Makanan-makanan telah siap, kami pun siap menyambut hari yang fitri itu. Kemudian kami melaksanakan sholat iedul fitri pada tanggal 1 syawal yang di laksanakan di tanah-tanah lapang, lengkap dengan mauizoh hasanah setelah sholat iedul fitri yang dimana khotbah pada sholat ied ialah rukun sholat ied itu sendiri. Dilanjut dengan ziarah ke makam sanak saudara yang telah mendahului kami yang masih hidup setelah sholat. Sesampainya di rumah nenek, semua pun saling memaafkan. Tangis pecah, sebab kerinduan yang telah menjadi-jadi di tanah rantau juga ekspresi syukur sebab pulang ke kampung halaman belum bisa dilakukan setiap tahun. Ayah memeluk nenek, begitupun mama. Tergambar begitu rindu yang tertahan telah mengendap dalam waktu yang cukup lama –2-3 tahun. Selesai saling bermaaf-maafan di rumah nenek, lalu kami berkeliling untuk saling memaafkan, ke tempat-tempat tetangga.

Setelah tradisi-tradisi lebaran itu, kami menghabiskan waktu di kampung untuk silaturahmi, sowan ke rumah-rumah sanak famili dan liburan dengan alam yang kampung kami sajikan: berenang di sungai, memancing ikan, meminum air kelapa yang langsung kami lihat proses pemetikannya yang dibantu oleh seekor kera dan juga datang ke kebun-kebun kami untuk melihat perkembangannya.

Percayalah, kelelahan dalam perjalanan terobati dengan apa-apa yang kampung kita saji. Masyarakatnya yang begitu ramah-tamah. Rasa persaudaraan yang antar warga munculkan. Kesemuanya memang membuat kita bahagia di hari yang fitri. Indah sekali. Kemudian mudik mesti dipersiapkan dini, untuk tahun depan berkesampatan mudik lagi. 

 *) Salah satu tulisan yang terpilih menjadi pemenang harian Lomba Blog Cerita Lebaran di kolom Klasika koran Kompas Juli 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin atau (Sekadar) Pemimpi, Tentukan Sekarang!

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*

Gerimis Februari*