Kontrol Sosial: Kaum Terdidik dalam Penggunaan Media Massa
unjkita.com |
Pendahuluan
Menghadapi
realita yang ada bahwa selalu banyak hal yang bertumbukan, termasuk harapan perorangan, perkelompok, bahkan
dalam entitas yang lebih besar, perbangsa, yang bertumbukan dengan pahitnya
realita. Harapan ini tidak abstrak, melainkan sesuatu yang telah tertuang dalam
auran hidup bernegara, sehingga bila disebut bahwa harapan tadi berujung
masygul dapat diukur. Beberapa di antaranya ialah persoalan hukum yang tajam
kebawah, namun tumpul ke atas. Contoh kasus yang bermunculan seperti :
Kasus pencurian tiga biji kakao yang nilainya tidak lebih dari Rp 10.000,- oleh
Nenek Minah yang kemudian divonis 1,5 bulan, kasus pencurian
semangka, kasus pencurian pisang,dan yang terakhir adalah kasus pencurian
sandal jepit oleh Aal. Kasus-kasus ini merupakan gambaran betapa bobroknya
penegakan hukum bangsa kita. Banyak kasus korupsi yang sangat merugikan negara
kita terlepas dari jeratan hukum, mendapat hukuman ringan bahkan para terpidana
kasus korupsi mendapat fasilitas-fasilitas yang mewah di penjara (Ashinta Sekar Bidari, 2015:
1-2)
Keterkaitan
Berangkat
dari hal tersebut maka perlu adanya kontrol sosial. Kontrol sosial adalah sikap
dan tingkah laku masyarakat secara perorangan atau berkelompok yang ditujukan
terhadap perorangan atau berkelompok dengan maksud untuk memperbaiki keadaan
dengan bentuk lisan atau tulisan yang disalurkan secara langsung atau tidak
langsung terhadap aparatur pemerintahan atau lembaga-lembaga masyarakat yang terkait
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku (Sukarna, 1990: 2-3). Hal tersebut
diperuntukkan untuk melepaskan masyarakat dari hegemoni: suatu kondisi
penguasaan yang tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan, usaha penundukkan
tanpa dirasa sebagai penundukkan.
Gramsci
menunjukkan situasi ketidaksadaran pada alam pikiran masyarakat atas situasi
yang menindas atau tidak mendatangkan kesejahteraan pada rakyat, melainkan
sebaliknya, menyengsarakan. Situasi ketidaksadaran (false consciousness,
Karl Marx, pen) itu disebutnya sebagai hegemoni, yakni dominasi yang dilakukan
melalui cara-cara yang tidak diketahui oleh objek (pen) atau kelompok yang
didominasi atau hegemoni (Abdul Mughis Mudhoffir, 2013: 90). Masih dalam sumber
yang sama, “Berlangsungnya kekuasaan yang hegemonik tidak lagi menghadirkan
pengawasan secara eksternal karena ia telah diinternalisasikan dari dalam
objeknya. Jadi tidak mudah mempersoalkan suatu masalah ketika dianggap given,
taken for granted, dan hadir seolah sebagai suatu yang normal.”
Alat
propaganda yang kemudian digunakan pemilik kekuasaan sebagai langkah untuk
menghegemoni massa rakyat ialah media massa. Media berfungsi menyebarluaskan
opini publik yang menghasilkan pendapat atau pandangan dominan (Morissan, 2013:
530). Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa media dapat
menggiring opini publik. Tentang bagaimana hegemoni (ideologis) ini menyebarkan
sayapnya, Stuart Hall berpendapat, media massa merupakan sarana paling penting
dari kapitalisme abad ke-20 untuk memelihara hegemoni ideologis, sebagaimana
juga menyediakan kerangka berfikir bagi berkembangnya budaya massa. Melalui
dimana kelompok dominan terus-menerus berusaha mempertahankan, melembagakan,
melestarikan kepenguasaan demi menggerogoti, melemahkanm dan meniadakan potensi
tanding dari pihak-pihak yang dikuasai (Burhan Bungin, 2008:29).
Untuk membaca usaha-usaha hegemoni yang dibangun pemilik kekuasaan perlu
dilakukan peninjauan-peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakannya yang
seringkali “jauh panggang dari api”, masyarakat tentu mengharapkan kebijakan
pemerintah ialah kebijakan yang pro rakyat bukan berlaku sebaliknya. Peninjauan
ini dapat dilakukan oleh kaum terdidik atau intelektual. Robertus Michels
mengenai kaum intelektual, “orang-orang yang memiliki pengetahuan, atau dalam
arti sempit, mereka yang mendasarkan penilaiannya pada renungan dan
pengetahuan, yang kurang langsung dan tidak semata-mata berasal dari persepsi
inderawi tidak seperti halnya kaum non intelektual (Syed Hussein Alatas,
1988:12). Perubahan sosial yang disebabkan oleh proses reproduksi dan proses penciptaan kemudian akan membentuk
manusia-manusia baru yang memliki intelektualitas relatif lebih tinggi
dibanding masyarakat biasa, manusia-manusia baru ini ialah mahasiswa.
Keberadaan mahasiswa mendapat tempat di masyarakat sebagai kaum intelektual
yang mampu mengusung ide-ide baru dan dianggap mempunyai prestise yang tinggi
(Minto Rahayu, dkk, 2013: 145).
Kemudian hal ini yang mendasari penulis membatasi kaum intelektual yang
dimaksud dalam tulisan ini ialah mahasiswa yang juga memiliki fungsi sebagai Social Control.
Tugas mahasiswa
sebenarnya adalah sebagai Agent
Of Change, Social Control, Moral Force, dan Iron Stock (Dwi
Ayu Asterina, 2012: 1). Masih dinukil dari
sumber yang sama, “Peran dan fungsi mahasiswa sebagai Social Control yaitu sebagai kontrol
atau barometer kehidupan sosial di dalam suatu masyarakat. Mahasiswa dapat
mengendalikan keadaan sosial yang ada di lingkungan masyarakat, yaitu seperti
mendemo kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai”. Mendemo
sebagaimana yang dimaksud ialah berawal dari kesadaran yang akhirnya melecut
resistensi mewujud aksi demonstrasi yang diharapkan timbul reaksi proaktif dari
pemerintahan untuk mendengarkan suara-suara rakyat yang diwakili mahasiswa
sebagai kaum terdidik atau intelektual sebagai bentuk kontrol sosial.
Sebagaimana dituliskan sebelumnya bahwa kontrol sosial ini bisa berupa
dilakukan secara lisan maupun tulisan. Yang pada kesempatan kali ini penulis
akan membahas kontrol sosial dengan melalui tulisan yang pada abad milleneal
ini perlu dibudayakannya literasi, dimana kemampuan literasi ini bahkan menjadi
pertimbangan diadakannya kurikulum 2013 yang menggambarkan posisi betapa pentingnya
kemampuan (Literasi)
yang satu ini.
Konstruksi Isi dengan Teori
Ada pun pisau analisis yang digunakan penulis yaitu teori konflik yang
khas dengan sistem kelasnya, stratifikasi sosial. “Karl Marx sees society as an arena of social conflict.
To him, function and role of social institutions can be best understood by its
economic system. As per his doctrine, social institution, education system
strengthens existing class system that contains two main classes: bourgeoisie,
haves an proletariat, have not. In this system “haves” own the means of
production, base and run the social institution while proletariats have not the
base, they can only sell their labor at cheap rate for survival. According to
his approach, educational institutions provide the workface to bourgroisie
class.” (Sonia Omer dan Sadia Jabeen, 2016: 196-197).
Adapun terjemahan bebasnya sebagai berikut, Karl Marx melihat masyarakat seperti sebuah arena
konflik sosial. Baginya, fungsi dan peran institusi sosial dapat baik
dimengerti dengan sistem ekonomi. Seperti setiap doktrinnya, institusi sosial,
memperkuat sistem pendidikan yang memiliki sistem kelas yang di dalamnya
terdapat dua kelas: kelas borjuis, yang berada. kelas proletar, yang tidak
berada. Dalam sistem berada ini kepemilikan berarti produksi, berdasar dan
menjalankan institusi sosial sementara proletar tidak berdasar. Mereka hanya
dapat menjadi buruh bagi kaum borjouis dengan rerata bayaran yang rendah untuk
bertahan hidup. Menurut pendekatan Marx, institusi pendidikan mempersiapkan
pekerja untuk kaum borjuis.
Kemudian stratifikasi sosial adalah hierarki yang ada dalam masyarakat.
Hierarki ada yang sengaja dibuat dan ada yang terlahir secara alamiah (Silfia
Hanani, 2016: 39). Hierarki ini yang kemudian mempetakan kelompok powerfull yang berada pucuk garis
vertikal dan powerless berada dititik
paling bawah garis vertikal. Powerfull ialah
pemerintah, sedangkan powerless ialah
masyarakat dominan (di negara yang angka kesenjangan ekonominya masih tinggi).
Sehingga segala tendensi penguasa seringkali menggunakan instrument-instrumen
kekuasaannya untuk melanggengkan kekuasaannya atau paling tidak meminimalisir
suara sumbang yang mengganggu jalannya kekuasaan dengan jalan menyetir media
untuk membentuk framing negara
baik-baik saja atau untuk membentuk konsesnsus pro pemerintahan. Rocky Gerung,
Dosen Universitas Indonesia, pernah berujar tajam soal pengendalian kebenaran
yang dibangun hanya dalam kacamata rezim yang berkuasa, “artinya ada kebohongan
yang disembunyikan. Pembuat berita bohong terbaik adalah pemerintah yang
berkuasa. Alasannya, penguasa memiliki seluruh peralatan untuk berbohong,
seperti intelijen, data statsitik, dan media.” Dilansir dari laman
republika.co.id
Dengan uraian di atas bahwa perlu adanya tindakan-tindakan untuk
pencerdasan kepada masyarakat yang dilakukan mahasiswa sebagai kaum intelektual
sebagai bentuk kontrol sosial dengan menerbitkan tulisan-tulisan ilmiah sebagai
kritik bagi pemerintah agar serius mengurusi rakyat bila ada kekeliruan dalam
menjalankan negara, terlebih jika ternyata negara memproduksi kabar bohong. Di
sana mesti ada resistensi berbentuk tulisan demi me-counter hegemony
untuk menyadarkan masyarakat melalui transmisi pengetahuan (sosiologi baru
dalam ilmu pengetahuan, Karl Manheim)
dan menegur pemerintah oleh media massa yang digunakan oleh kaum
intelektual, mahasiswa.
Wallahu
'alam bishshowab
Komentar
Posting Komentar