Mari Arungi Samudera Luas itu denganku

travelwisataindonesia.com

Pagi itu, ialah hari bahagia dalam hidupku, setelah 4 tahun bergelut dengan peliknya kehidupan kampus akhirnya hari itu aku akan memakai toga pertanda berakhirnya masa belajarku dalam program sarjana di kampusku, Universitas Indonesia. Selepas upacara sakral itu, akan tersemat label Sarjana Ekonomi Islam di belakang namaku. Ya, namaku akan menjadi Ahmad Huda Audhytias.S.E.I.

Pagi itu dihiasi oleh gerimis-gerimis yang tertiup angin, yang membuat rintik-rintik hujan seakan mengayun-ayun. “Nak, perlengkapanmu untuk wisuda nanti sudah siap?,” tanya mamaku, memecah lamunanku pagi itu. “sudah siap semua, ma.” Jawabku. “yasudah sana kamu siap-siap, kita akan berangkat pukul 07.00!,” perintah mamaku. “siap, ma.” Jawabku sambil berlalu mengambil handuk.

“Huda, cepat kita akan berangkat sekarang juga!,” perintah ayahku setengah teriak. “iya, yah, ini udah kelar,” jawabku merespon perintah ayahku dan keluar dari kamar. Di dalam mobil kami berbincang-bincang ringan. Pada kesempatan pagi itu ayahku yang mengendarai mobilnya. Di tengah-tengah perbincangan ringan itu, adikku meledekku. “lulus sudah, tinggal nikahnya nih, bang hehe,” kata adikku si Aisyah. Mukaku langsung memerah mendengar ledekkannya. Langsung terbayang juga wajah wanita yang diam-diam aku cintai. “heh, bang, malang bengong. Mikirin romantisnya resepsi pernikahan abang ya,” ledek Aisyah lagi sambil menjulurkan lidahnya bermaksud meledekku.

Aisyah ini memang suka bercanda denganku, maklum saja, kami hanya dua bersaudara. Dia masih kelas 11 SMA aat ini. “hehe enggak kok, dek.” Jawabku sekenanya. Setelah aku respon adikku, aku melanjutkan lamunanku. Di dalam lamunanku teringat betapa giatnya diri ini berdoa kepada sang khaliq untuk mempertemukan aku dengan wanita yang aku idam-idamkan. Wanita yang aku idam-idamkan tipe wanita yang kalem, itu yang membuatku tertarik padanya. Aku pernah melihat dia tertawa, namun dengan anggunnya ia tutupi tawanya sebisanya, ia tutupi tawanya dengan sebuah buku.

dia lebih dulu lulus dibanding aku, dia menuntaskan studinya dalam kurun waktu 3 ½ tahun. dia juga mendalami ilmu ekonomi Islam, itu yang membuatku kenal dengannya. Walaupun kami belum pernah satu kelas namun di mata kuliah umum tak jarang kami mendapatkan kelas yang sama. “Huda, sudah sampai, mari kita turun!” kata mamaku mengagetkanku. “hehe iya, ma,” jawabku singkat.

Setelah sampai di kampusku kami semua sibuk dengan urusan masing-masing, merapihkan pakain yang kami kenakan khususnya. Mengingat acara mulai pukul 09.30. kami pun kumpul di salah satu tempat untuk bersama-sama menuju gedung balairung, tempat wisudaku. Dalam perjalanan menuju balairung, hatiku berdebar-debar. Bagaimana tidak, ini momen spesial untukku. Momen dimana aku harus siap menatap jauh kedepan, menatap jalan cerita kehidupanku kedepannya.

Tak terasa prosesi wisuda rampung  pukul 11.30. 2 jam lamanya acara itu berlangsung. Di sana kami berfoto-foto mengabadikan momen-momen spesial itu. Di sana pun aku menyalami kawan-kawan seperjuanganku. Di tengah-tengah pertemuanku dengan kawan-kawan seperjuanganku kami saling mengingatkan momen-momen dimana kami semua dulu masih maba. Tawa haru berpadu membuat siang itu lebih berwarna.


Selepas sholat dzuhur kami beristirahat dan makan siang di kantin samping danau UI. Melepas lelah dengan memandangi tenangnya air danau sambil menikmati menu makan siang yang kami pesan di kantin itu. “yah, nanti kita pulang jam 14.00 aja ya, yah,” kata mamaku ke ayahku. “iya, ma, biar gak macet juga.” Jawab ayahku mengamini permintaan mamaku. Selepas makan pun kami langsung menuju mobil, mengejar waktu agar tidak terkena macet.

Di awal-awal perjalanan pulang, kami masih saling bertukar cerita di dalam mobil. Namun setengah perjalanan, aku memilih untuk melepas lelah dengan tidur siang di dalam mobil. “nak, bangun!. Sudah sampai.,” kata mamaku sambil mengguncang-guncangkan tubuhku. Langsung saja aku turun dari mobil tanpa sepatah katapun. Tak terasa sudah tiba di rumah. 

Sesampainya di rumah aku langsung masuk kamar dan merebahkan tubuh di kasur. Saat aku melihat jam, langsung aku bangun dari tempat tidur untuk beranjak sholat ashar yang telah masuk waktunya sedari 20 menit yang lalu. Setelah sholat aku melanjutkan istirahatku dengan merebahkan badan di atas sajadah. Di dalam istirahatku aku membayangkan aku sudah mulai bekerja lalu meminang perempuan yang aku cintai.

Mulai esok aku akan mencoba melamar kerja. Waktu pun terus bergulir, dari jam berganti jam, hari berganti hari. Sudah hampir sebulan aku mencari kerja namun belum satu pun ada panggilan hasil dari lamaranku. Di tengah perjuangan mencari kerja, hati ini pun kian ingin memiliki seorang pendamping.  Langsung saja aku mencoba mencari info lebih dalam mengenai wanita yang aku idam-idamkan itu.
Tekad ini semakin kuat mengingat firmannya yang berbunyi,

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur:32)


Janji Allah akan memampukan sesiapa yang menikah menjadi penguat tekadku. Awal-awal aku sampaikan niat baikku kepada orang tuaku, meski awalnya orang tuaku keberatan, tapi pada akhirnya mereka setuju setelah aku bujuk sedemikian rupa. Aku ceritakan wanita yang aku cintai. Awal-awal aku sampaikan pada mereka bahwa aku ingin ta’aruf dulu dengannya.


Esok harinya, setelah membuat janji dengan si wanita aku dan ayah langsung menuju rumhnya. Di sana aku menyatakan niat baikku untuk ta’aruf dengannya. Alhamdulillah pihak keluarga si wanita menyetujuinya. Dalam kurun waktu 2 minggu kami berta’aruf dan semakin mantapnya hati ini setelah istikharah. Langsung saja, aku nyatakan niatku kepada ayahnya. Ayahnya pun menjawab, “itu tergantung Laila, nak. Keputusannya bapak serahkan kepadanya,” jawab ayahnya dengan tenang. “apakah kamu mau menerima lamaranku, la?,” tanyaku sedikit kikuk. Laila pun terlihat malu-malu mendengar pertanyaanku, dia pun menjawabnya dengan anggukan yang membuat hatiku berbunga-bunga.

Pada detik itu juga kami membicarakan soal pernikahanku, kami menetapkan pernikahan itu akan berlangsung bulan depan. Aku di rumahnya di dampingi keluargaku sampai pukul 21.30, cukup lama kami di sana, setelah membicarakan  soal pernikahan ku dengan Laila. Tak heran pembicaraan mengenai pernikahan itu tak usai malam itu juga. Pembicaraan itu akan dilanjutkan esok hari.



Setelah kami ingin pamit, keluarga Laila mengantarkan keluaragaku sampai di depan rumahnya. Dalam kondisi sedemikian aku curi-curi keadaan untuk menyatakan sesuatu kepadanya. “kedepannya, kita akan memulai hidup baru berdua. Yakinlah bahwa akan banyak halang-rintang yang akan mewarnai mahligai rumah tangga kita. Apa kah kamu siap mengarungi luasnya bersamaku, la,?” tanyaku. “iya, in syaa Allah saya siap melewati tenangnya air dan juga siap melewati bebatuan yang tajam bersamamu, hud” jawabannya sungguh menenangkan, aku pun mengikuti langkah keluargaku yang lebih dulu menuju pintu keluar rumahnya.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*

Pemimpin atau (Sekadar) Pemimpi, Tentukan Sekarang!

Tujuh Hal Mengenai Naja, Si Anak Cerebral Palsy Penghafal 30 Juz Alquran