Tetaplah Berkontribusi!

Dokumentasi Pribadi | MPA PIAI 2016
Oleh: Asrul Pauzi Hasibuan

Kurang dari satu bulan kepengurusan baru BEMP di prodi penulis bergulir. Satuan waktu yang didapat, terhitung dari waktu Rapat Kerja Bersama. Dimana momen tersebut awal dikukuhkannya kepengurusan baru. Dimulai dari pengukuhan struktur anggota -dari keluarga baru kita- hingga mempresentasikan jobdesc setiap divisi masing-masing.

Ada yang unik dari salah satu divisi di BEMP tempat penulis studi. Dimana salah satu staf dari salah satu divisi, pada kepengurusan sebelumnya berpredikat sebagai Wakil Ketua Divisi. Namun sepengelihatan penulis, ia dengan lapang hati mendapatkan posisi yang sekarang, karena –mungkin dibenaknya- tiada beda posisi selagi bisa totalitas berkontribusi.

Ia sama sekali tak kurang untuk akhirnya kembali mengisi ruang Wakil Ketua Divisi. Bahkan sama sekali tak kurang bila ia diberi kesempatan untuk menahkodai pelayaran divisi yang dimaksud. Namun untuk memposisikannya kembali menjadi Wakil Ketua Divisi akan menghambat proses regenerasi untuk kedepannya, tentu ia memahami ini. Pun kenapa ia tak memegang kemudi (red: Ketua Divisi) karena satu dan lain hal –bukan sama sekali perihal kurangnya kompetensi-.

Kasus ini lebih dari sekadar kelapangan hatinya mendapati dirinya “terdemosi”, melainkan juga soal kontribusi yang ia beri sejauh ini untuk tetap bergerak sesuai tupoksi divisi ini sebagaimana mesti. Semoga selalu demikian sampai akhir kepengurusan nanti.
“Dalam perjuangan kita tidak pernah memikirkan pangkat dan jabatan karena kita berunding pun duduk di atas lantai; yang penting adalah kejujuran, siapa yang jujur kepada rakyat dan jujur kepada Tuhan, perjuangannya akan selamat,” kata Pak Sjarifuddin Prawiranegara suatu kali

Barangkali, sosok yang sedari tadi dituangkan dalam tulisan ini memiliki pemikiran senada dengan Pak Sjarifuddin Prawiranegara, sosok yang dalam suatu buku didorong untuk akhirnya masuk dalam jajaran mantan pemimpin negeri ini karena memimpin PDRI di Bukittinggi beserta beberapa jajaran yang diasingkan saat terjadi agresi militer oleh Belanda di Ibu Kota negeri ini kala itu, Yogyakarta. Untuk membatasi alur tulisan ini, dicukupkan untuk membahas sosok Pak Sjarifuddin Prawiranegara yang seusai membaiknya kondisi negeri ini dari ulah para penyamun yang menjajah bangsa ini kemudian mengembalikan kembali amanah kepemimpinan negeri ke pundak Dwitunggal.

Alangkah indahnya bukan bilamana setiap kita berlaku demikian sebagaimana Pak Sjarifuddin yang mengembalikan mandat kepada Dwitunggal dan sebagaimana sosok yang sedari awal tulisan ini dituliskan tetap aktif berkontribusi untuk massa lingkup prodi yang madani meski “terdemosi”. Yang terpenting adalah bagaimana sosok semisal kedua orang ditulisan ini bisa menjaga roda-roda kebermanfaatan terus berjalan sesuai track yang lurus, shirotool mustaqiim. Baik terus mengingatkan saudaranya yang memiliki wewenang lebih untuk berbuat atas dasar kemaslahatan orang banyak, juga menjaga agar tak ada keputusan-keputusan yang bersinggungan dengan garis-garis yang telah digariskan Rabb semesta alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*

Pemimpin atau (Sekadar) Pemimpi, Tentukan Sekarang!

Tujuh Hal Mengenai Naja, Si Anak Cerebral Palsy Penghafal 30 Juz Alquran