Jujur itu Mahal Harganya
Beberapa hari yang lalu, tanggal 13-15 April 2015, kami
pelajar SLTA se-Indonesia mengikuti Ujian Nasional. Agenda tahunan pelajar di
Indonesia, yang selalu menarik untuk dibahas, memicu pro dan kontra. Ada yang
ingin agenda tahunan Indonesia ini dihapus dan ada juga yang ingin agenda ini
tetap berjalan, pihak yang pro dan kontra saling mengeluarkan opini yang cukup
masuk akal.
Bicara saat menghadapi Ujian Nasional, saat saya berada di SLTP, pihak sekolah sangat mempersiapakan anak didiknya untuk dapat menghadapi Ujian Nasional dengan baik. Saat baru masuk kelas IX pun kami sudah harus siap menjalani pendalaman materi sebagai salah satu persiapan untuk menghadapi ujian itu. Try out – try out pun telah terjadwal untuk kami dalam rangka mengevaluasi hasil belajar kami, baik hasil belajar program sekolah, pendalaman materi, maupun belajar di luar itu.
Teringat 3 tahun lalu saat saya masih duduk di bangku SLTP,
kami pelajar SLTP yang lulus tahun 2012 itu pun melalui agenda tahunan itu.
SLTP saya dulu berada di bawah naungan Depag, berbeda dengan SLTA saya kini yang berada di bawah Diknas. Di
kedua instansi dimana saya mengenyam bangku pendidikan ini atmosfernya sangat
berbeda. Berbeda, dari segi peraturan salah satunya.
Bicara saat menghadapi Ujian Nasional, saat saya berada di SLTP, pihak sekolah sangat mempersiapakan anak didiknya untuk dapat menghadapi Ujian Nasional dengan baik. Saat baru masuk kelas IX pun kami sudah harus siap menjalani pendalaman materi sebagai salah satu persiapan untuk menghadapi ujian itu. Try out – try out pun telah terjadwal untuk kami dalam rangka mengevaluasi hasil belajar kami, baik hasil belajar program sekolah, pendalaman materi, maupun belajar di luar itu.
Di sana pun secara mental dan spiritual kami di tempa untuk
melalui ujian itu dengan baik. Secara mental kami digodok agar kami tak gentar
melalui itu, sebab kami punya Allah SWT., Sang Khaliq. Tak jauh beda dengan
spiritual kami, kami diajari agar berlaku jujur, sebab Ad-diin Islam
mengarahkan penganutnya menjadi pribadi yang jujur. Mungkin segelintir
pemaparan itu saja yang dapat saya gambarkan untuk menggambarkan proses kami
untuk menghadapi Ujian Nasional saat saya berada di bangku SLTP, di sekolahku tercinta.
Tapi apakah sobat tahu apa yang dilakukan salah satu guru
kami dalam mencegah berbuat curang saat ujian? Kami dido’akan bagi sesiapa di antara
kami yang berbuat curang tak akan lulus. Berbeda dengan guru saya di SLTA, ada
beberapa guru yang sekan-akan membolehkan hal tercela semacam memakai bocoran. Bahkan
ada salah seorang guru saya di SLTA saya menyebut sesiapa yang telah “menemukan”
bocoran, dan bocoran itu terlihat benar dan lalu tidak digunakan orang itu ialah
orang bodoh. Iya, salah satu guru saya yang berbicara kurang lebih seperti itu.
Jujur saya pun tertohok atas pertnyataan guru itu, ingin saya menyangkal namun
saya tak berani. Saya takut di bilang sok pintar atau cemoohan lainnya.
Sedikit geram, iya saya sedikit geram mendengar pernyataan
yang kurang berdasar itu. Bodoh, apa iya predikat itu dapat disandingkan dengan
pribadi yang memahami firman-Nya? Memahami makna firman-Nya dalam Al-Qur’an
surat An-nas ayat pertama yang artinya, “Katakanlah: "Aku
berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.”. Jelas kita
sebagai hambanya di perintah untuk berlindung kepada-Nya, bukan berlindung dibalik
bocoran agar mendapat nilai yang mungkin baik, tetapi notabene-nya nihil. Saya bilang
paham bukan bermaksud menunjukkan diri ini baik, namun hanya untuk meluruskan
definisi bodoh yang diutarakan pihak yang bersangkutan.
Kepada yang bersangkutan, engkau adalah
tenaga pendidik, engkau mengemban amanah untuk mencerdaskan bangsa ini. Lantas
mengapa kau bersikap demikian? Bukan kah lebih elok kami di tempa dengan
sebenar-benarnya cara menempa? Agar kami dapat menguasai materi yang dapat
diujikan serta pahamkan kami bahwa kejujuran mahal harganya. Bukan kah telah
mahsyur pernyataan, “Negara ini memiliki banyak orang pintar, namun tidak
dengan orang jujur.” Begitulah kurang lebih bunyinya.
Saya kira bukan seseorang yang saya bahas
saja yang seperti itu, namun ada juga orang di luar sana yang berpredikat
sebagai tenaga pendidik namun melontarkan pernyataan yang kurang lebih sama. Saya
bukan orang pintar, namun jelas saya ingin pintar, dengan jalan yang
diridhoi-Nya tentunya. Iya saya tak suka dengan saran orang itu bukan karena
saya merasa pintar, sekali lagi bukan. Seperti yang saya bilang tadi saya ingin
pintar dengan koridor-koridor yang telah dibuat-Nya.
Kepada para tenaga pendidik, bantu kami taat kepada Rabb
kami dengan terus memberi kami ilmu serta ajari kami hal-hal baik, dan larang
kami berbuat perbuatan yang tercela.
Teruntuk teman seperjuangan, yang kemarin telah berlalu
biarlah berlalu, namun setip perbuatan tentu ada pertanggung jawabannya. Baik
teman yang telah mengkondisikan keadaan ujian saat itu bak di ring tinju,
dengan semangat yang membara “meninju” soal-soal yang ada dengan sesuai aturan
main yang baik. Juga teman yang bak meniupkan angin semilir saat kami berada di
atas pohon, yang sepintas angin itu membawa keuntungan namun tidak, kami jatuh
karenanya. Alhamdulillah kami tidak terkena hembusan angin yang semu itu.
Kawanku yang jujur menjadi penguatku, dan yang tak jujur
menjadi penggodaku serta teman yang sejatinya mendzholimi kami yang berusaha
jujur. Mengapa? Tentu kami yang jujur akan saling sikut dengan kalian yang
belum jujur dalam hal penilaian. Yang belajar sungguh-sungguh, lalu jujur
mendapat nilai 80, sedang yang berleha-leha dan tak jujur mendapat nilai yang
sama. Apa bukan mendzholimi namanya?. Kawan marilah kita semua jujur, karena
sifat macam itu yang diperintahkan-Nya, dengan menjalani itu berarti kita
mentaati-Nya.
Bukan kah kita tentunya tidak senang dengan para koruptor? Tak
jarang juga di antara kita menghujat mereka. Namun saat kalian berlaku curang
saat ujian berarti kalian mengikuti langkah mereka yang mungkin kelak jika
kalian tak bertobat dan kebablasan seperti mereka, kalian pun akan dihujat oleh
generasi-generasi selanjutnya. Seperti generasi sekarang yang menghujat para
koruptor yang mendekap di balik jeruji sana.
Kita perlu ingat tujuan kita hidup, dimana tujuan kita
diciptakan di dunia ini ialah untuk beribadah kepada-Nya, seperti firman-Nya
QS.Adz-zariyat:56, “dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepada-Ku”. Jujur itu termasuk ibadah kepada-Nya, karena kita
mentaati perintahnya, dan menjauhi larangannya yang berupa perbuatan curang. Jadi
semoga dengan tulisan ini, khususnya saya, al-faqir, dan umummnya teman-teman
pembaca tertohok hatinya, terbuka pikirannya untuk tetap berjalan dalam
koridor-koridor-Nya.
Wallahu’alam bishowab.
Komentar
Posting Komentar