Apologia
esqnews.id |
"Manusia
lahir dua kali. Yang pertama dari rahim ibu, kedua dari rahim
masyarakat. Beruntunglah mereka yang lahir dari kedua rahim yang
baik.”. - Sabda Armandio
Aku
seorang mahasiswa tingkat tiga di sebuah universitas yang letaknya di
Barat Indonesia. Aku aktif berorganisasi, meski aku memilih untuk
lebih lama aktif pada salah satu organisasi ekstra keislaman kampus.
Satu tahun lalu aku menjadi calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) di jurusanku, dan mulai dari sana aku memutuskan untuk hanya
fokus pada organisasi yang aku maksud.
Kala
itu, aku didorong oleh teman-teman dan senior-seniorku di organisasi
ekstra kampus untuk ikut serta dalam pesta demokrasi di kampus. Aku
awalnya menolak, sebab aku pikir terlalu berat menjadi ketua suatu
organisasi, meski masih tingkat Jurusan. Singkat cerita, aku akhirnya
mencalonkan diri.
Entah
apa yang membuat kontestasi saat itu begitu sengit, sentimen-sentimen
perbedaan menyeruak ke permukaan. Hari ini aku sadari bahwa sentimen
itu, tak lebih dari pengulangan fase; dari mengetahui ke (seakan
kembali) tidak mengetahui. Sebab, hal-hal cabang, hal-hal yang biasa
jadi ikhtilaf
para ulama, menjadi sentimen untuk melanggengkan ke-tidak-dewasa-an
dan memperbesar perolehan suara. Semua itu, yang aku sadari, sudah
pernah kami pelajari pada beberapa mata kuliah. Bak bara dalam sekam,
ternyata partisipan kontestasi juga tersulut. Sebagian mulai saling
mengidentifikasi lewat perbedaan-perbedaan.
Menyeruaknya
sentimen itu boleh jadi bukan tanpa sebab, ketersediaan pilihan yang
hanya dua pilihan besar kemungkinan juga turut memengaruhi. Calon
ketua A dinilai sebagai perwakilan kelompok Y dan calon ketua B
dinilai sebagai perwakilan kelompok X. Sentimen yang diolah dari
beberapa ikhtilaf
itu ternyata membuat bias gagasan yang kami bawa. Mereka tak lagi
mempertimbangkan gagasan, melainkan berhenti hanya pada soal-soal
perbedaan yang sebenarnya dapat ditolerir.
Di
depan publik, dialog-dialog yang meruncing itu memang tidak pernah
frontal dibicarakan. Namun, bukan berarti hal itu tidak terjadi.
Bahkan, aku sebagai salah satu ‘ikon’ dari kompetisi demokrasi
itu juga pernah terlibat dialog yang kian menjurang itu.
“Gue
pikir siapa pun yang nanti memenangkannya, entah gua atau pun lo
harus saling mengakomodasi yang kalah untuk
jadi wakil,” kataku melobi, berterus terang saat itu pada
kompetitorku, setelah sebelumnya mendapat ‘briefing’ dari
seniorku, yang aku sadari belakangan sebagai kesalahan berpikir,
karena menuruti seniorku begitu saja.
“Karena,
jika bukan seperti itu, friksi yang terjadi antara kita akan terus
terjadi,” kataku lagi.
Romi
tampak terkejut, ia terdiam, agaknya ia sedang berpikir keras dalam
diamnya untuk memilih jawaban yang tepat, “Bukan begitu, Ruz, kita
memang harus menyudahi sentimen-sentimen yang sudah membuat banyak
hal menjadi tidak baik ini,” katanya mengawali jawaban.
“Makanya…,”
kataku mencoba memotong kesempatannya.
Belum
sempat aku memotongnya dengan sempurna ia dengan tegas kembali
menyetop pembicaraanku. “Tunggu-tunggu, ini kesempatan gue, Ruz,
gue belum selesai,”
Ia
menghela nafas, kemudian melanjutkan, “Gue sepakat kalau
ketegangan ini harus disudahi, tetapi bukan dengan cara membuat
kesepakatan seperti itu. Jika gue kalah, gue merasa harus tetap lo
uji, jika lo bermaksud jadikan gue wakil, begitu pun sebaliknya,
kompetensi itu penting,” katanya menambahkan, serius.
Aku
terperanjat, jawabannya lugas, namun tetap tenang. Aku yang kikuk
kemudian hanya melempar pertanyaan sekenanya, “Jadi gimana-gimana
baiknya?”.
“Gue
pikir harus ada dialog untuk kita, serta pendukung-pendukung kita.
Silakan berdebat, namun tidak debat kusir,” jawab Romi memberi
usul.
Aku
sepakat. Kami mencoba membicarakan hal itu lebih jauh, meski akhirnya
apa yang coba kami bicarakan tak kunjung terjadi dengan beberapa
alasan.
***
Kampanye
dimulai, kami saling beradu kreativitas kampanye. Termasuk
menyebarkan opini berupa tulisan. Pendukungku, boleh jadi mengelak
tidak bermaksud secara langsung untuk melempar sindiran, namun narasi
dari tulisan-tulisan yang ada bicara sebaliknya.
Prefensi
terminologi-terminologi tertentu melesat bak anak panah yang
menyembilu. Mulai dari kata intoleran, radikal, ekstrem kiri-kanan,
dan lain-lain. Aku akui, memang tulisan-tulisan yang dimaksud tidak
menunjuk hidung siapa pun, namun dari konteks kontestasi dan isi
tulisan aku pikir siapa yang jeli membaca, akan mafhum.
Aku
suka menulis, namun aku mencoba sebisa mungkin untuk tidak agresif
dalam penyampaian, meski tetap tajam, begitu juga dengan salah satu
konten kampanye –berupa opini- yang berasal dariku. Tetapi, tidak
dengan ‘mesin’ kampanyeku. Tulisan-tulisannya terlihat
tendensius. Hal itu aku sadari kala itu, karena aku sempat memoderasi
tulisannya dan menolak agar tulisan-tulisan yang demikian jangan
sampai memperkeruh suasana. Setelahnya, aku makin paham. Ternyata ada
hal-hal lain di luar pengetahuanku yang menyebabkan kontestasi
demikian meruncing. Sebab, aku pun turut digugat atas penolakanku
tadi, yang berarti kontestasi itu begitu ‘penting’.
“Lo
harusnya nurut apa yang senior lo bilang, gaperlu sok-sok-an
mengkritisi lalu menolaknya. Lo beruntung kami calonkan!,” baru
beberapa saat kami bicara agak santai, mengawali pembicaraan, namun
kalimat itu meluncur bak petir yang menyambar saat siang bolong.
Aku
tak menduga pernyataan tersebut, aku bukan orang yang mengemis-ngemis
untuk dimajukan, malahan, jika terminologi mengemis kembali aku
gunakan, merekalah yang demikian. Aku mencoba menolaknya sehalus yang
aku bisa. Meski, orang-orang yang mengenalku akan tahu betul, jika
aku bicara serius, dengan bahasa yang baku, artinya aku tidak sedang
main-main, dan terjadi saat itu.
Aku
berdialektika dengan mereka soal-soal masalah yang ada, mengenai
toleransi, radikalisme, ekstrem kiri-kanan, dan lain-lain. Aku tahu
betul saat itu, bahwa pilihanku untuk mengiyakan dorongan mereka
diuji saat itu juga. Aku harus independen, dalam artian bukan tidak
‘berpihak’, namun apa yang menjadi pemahamanku, tidak berasal
dari luar kesadaranku. Aku mesti menelaah banyak hal, hingga akhirnya
aku memiliki prefensi dalam berpikir, bertindak, dan lain-lain: aku
tidak bisa didikte!; aku berpihak pada nilai, bukan pada subjek.
“Gue
pikir, kalau kita begitu bermasalah dengan mereka, jangan lantas kita
juga terjebak pada apa yang dituduhkan pada mereka. Mereka, katanya,
adalah sekumpulan orang yang tidak menerima perbedaan. Lalu apa kabar
dengan kita?, Kalau seperti ini, kita sama sekali ‘identik’
dengan mereka. Termasuk soal-soal lainnya, gue pikir kita harus
bertemu dengan mereka. Semoga abang-abang sekalian mendukung gue soal
rencana pertemuan dan dialog ini.” kataku panjang lebar. Mereka
tidak keberatan dengan usulku, meski aku pikir ketegangan siang itu
tidak akan cair saat itu juga, mungkin butuh satu-dua hari.
Kontestasi
tetap berjalan, awal yang berat bagiku, selain mengurusi hal-hal
lain, aku juga perlu tetap menjaga komunikasi pada teman-teman yang
mendukungku pasca dinamika yang terjadi. Aku banyak berdialektika
dengan senior-seniorku, rekan-rekanku, guna menjelaskan prefensi
pikiranku dan posisiku dalam melihat friksi yang ada. Aku tidak ingin
ada ‘kekisruhan’. Mereka, sebagaimana awal, menganggapku bocah
baru yang sok tahu. Namun, perlahan tetapi pasti, dengan
pendekatanku, sekali pun mereka belum dapat satu frekuensi dengan
pandanganku, namun mereka mulai menerima; memahami.
Rencanaku
dengan Romi, yang sempat tersepakati kala bicara sebelum bertemu
seniorku memang belum terjadi, namun hal itu dikarenakan kepadatan
aktivitas kami, bukan karena hal lain. Pun setelah apa yang coba aku
usulkan ke senior-seniorku juga belum terlaksana sampai usainya pesta
demokrasi di jurusanku, kecuali bertemunya aku dengan Romi secara
empat mata, membicarakan banyak hal. Aku berteman baik dengannya, dan
satu yang aku dapati dari setiap dialog kami berdua, bahwa kami
memiliki semangat yang sama: memajukan Jurusan kami.
Pada
dialog kandidat, secara frontal memang tidak ada ketegangan yang
terjadi, namun bagi mereka yang membacanya lebih jauh, akan paham,
bahwa dialog kala itu juga ada nuansa friksi yang dalam tubuh
jurusanku timbul-tenggelam secara, namun tetap ada, meski tak
semuanya merasakan.
Salah
satu audiens bertanya setelah masuk sesi-tanya jawab, “Bagi kedua
paslon, siapa dan apa yang mendorong kalian untuk meramaikan
kontesatasi demokrasi di jurusan?, Apa kepentingan yang kalian bawa
masing-masing?,” tanya salah satu audiens kepada kami.
Giliranku
menjawab lebih dulu. Aku agak retoris, aku mengutarakan bahwa ada
teman-teman mahasiswa yang sudah melihat apa yang sudah aku lakukan
satu tahun terakhir, dan mereka membuka peluang agar aku
berkesempatan memimpin BEM Jurusan. Selain itu, aku memang memiliki
keinginan untuk berkontribusi lebih di Jurusan. Soal kepentingan aku
menjawabnya tegas, “Aku pikir orang per orang, kelompok per
kelompok punya kepentingan dalam berbagai kesempatan, namun, yang
perlu saya tegaskan adalah, kepentingan yang saya bawa tiada lain
tiada bukan sejalan dengan apa yang mendorong saya turut mengikuti
orang-orang yang mendukung saya itu, yaitu, mengabdi dengan
berkontribusi pada Jurusan dan teman-teman sekalian. Ada pun
kepentingan lain-lain yang merupakan turunan dari itu, akan saya
ikhtiarkan dengan jalan-jalan demokratis, yang saya pertimbangkan
dengan jalan ‘ijtihad’
yang benar.”
Tak
diduga, Romi terlihat grogi dan kikuk, ia juga menjawab dengan
diplomatis, mirip-mirip denganku, letak bedanya ia tidak menjawab
sebagaimana jawaban akhirku. Bahkan keragu-raguannya dalam menjawab
terindikasi dari awal jawabannya yang ia katakan tak jauh beda dengan
yang aku bilang, “Jawaban saya soal ini… tidak jauh beda dengan
Averus,” seraya melihatku dan sedikit mengangguk.
Waktu
pun bergulir, aku mendapat nilai yang lebih rendah dibanding Romi
dari penilaian para panelis. Pendukungku berang, mereka menilai,
seharusnya aku mendapatkan nilai lebih tinggi. Mereka juga bilang,
banyak yang menyayangkan penilaian itu.
***
Aku
menjadi pemenang pesta demokrasi di jurusanku versi
real
count yang
ada. Pendukungku bersuka ria. Tetapi tidak denganku. Aku tahu betul
bahwa amanah ialah sesuatu yang amat berat. Namun, semua berganti
kemudian. Pendukungku harus menghentikan euforianya, karena ternyata
aku kalah, setelah aku –atau lebih tepatnya- pendukungku digugat
karena beberapa sangkaan yang dianggap melanggar peraturan yang ada.
Dari jumlah awal kemenangan 157 berbanding 143 dan abstain 7.
Kemudian diputuskan bahwa tiga pelanggaran yang dilakukan pendukungku
atau lebih tepatnya tim suksesku, membuat 15 suara milikku dianulir.
Sehingga suaranya menjadi 142 bagiku dan 143 bagi Romi. Tipis, dan
menyembilu.
Tim
suksesku melanggar ketentuan kampanye di ruang chat Organisasi
Pemerintahan Mahasiswa (OPMAWA) dan Organisasi Mahasiswa (ORMAWA).
Sebenarnya kesalahan demikian juga dilakukan tim sukses Romi, namun,
kami terlambat melaporkan itu sebagai kesalahan –setidaknya itu
menurut Bawaslu jurusanku. Aku tak paham letak salahnya dimana saat
kami mencoba mengejar waktu untuk juga melaporkan, namun laporan atau
gugatan kami ditolak, meski dilihat dari waktu belum terlambat sekian
menit.
Hal
tersebut membuat hubunganku ikut-ikutan menegang terhadap Romi dan
para pendukungnya, termasuk KPU dan Bawaslu Jurusan. Timku mencoba
menggugatnya ke tingkat Fakultas dan Universitas, namun mereka seolah
acuh tak acuh. Hal itu menyebabkan aku memilih menyudahi semua
kepalsuan itu. Aku menduga macam-macam. Aku sempat tak terkontrol
merespon hal itu.
Namun,
seiring berjalannya waktu aku memilih untuk menjadikannya
pembelajaran, dengan tetap aku mencoba mengkritisi BEM Jurusanku,
juga OPMAWA di atasnya. Aku memutuskan untuk menjadi mitra kritis.
Termasuk mencoba tetap berteman baik dengan Romi dan orang-orang
sekelilingnya, seraya aku tabayyun
mengenai isu-isu yang ada. Aku tak peduli mereka acuh tak acuh
terhadap kritikanku. Yang jelas, beberapa kesempatan sebelum
tulisan-tulisanku terpublikasi, aku mencoba bersua langsung dan
menyampaikan apa yang harusnya disampaikan. Meski demikian, pasca
keteganganku dengannya, aku pikir hubunganku dengan Romi tak kurang
hangatnya dibanding sebelum ketegangan antara kami dimulai.
Aku
tak paham dengan apa yang terjadi selepas itu. Romi kemudian gandrung
menulis. Ia menuliskan soal-soal bersikap adil; menyikapi perbedaan;
pentingnya keterbukaan; pentingnya berprasangka baik yang ditindak
lanjuti dengan crosscheck;
hingga ia menjadi orang yang juga lantang menuliskan kritik-kritik
yang tajam untuk setiap keadaan yang meresahkan di kampus; dan
lain-lain.
Pada
malam keakraban yang diadakan adik tingkat kami, kami sama-sama
mendukung adanya zikir pagi dan petang yang variatif. Entah itu
pembacaan “Al-Matsurat”,
“Ratiban”,
pembacaan “Simtud
Duror”,
dan lain-lain. Kami pikir hal-hal semacam ini yang patut dibudayakan,
tentu dengan satu sama lain memahami esensinya (termasuk landasannya)
dan saling memahami perbedaan yang ada.
Pada
pukul 02.10 WIB di puncak Bogor. Romi bercerita banyak hal, termasuk
bicara soal-soal kesepakatannya dengan pemikiranku. Ia bahkan berkata
–agak hiperbola dan kurang baik bagi demokrasi memang, jika waktu
dapat diulang, jika tahu aku maju sebagai ketua BEM Jurusan. Ia tidak
akan maju, agar aku yang menjadi ketua. Aku pikir, apa yang keluar
darinya pagi itu dan perubahannya belakangan sebagai apologia.
Komentar
Posting Komentar