Mengeja Fungsi Mahasiswa di Tengah Pandemi Covid-19*

Sumber gambar: unjkita.com
Bagi Soe Hok Gie, patriotisme bukan lahir dari hipokrisi dan slogan-slogan. Mengenal objek adalah satu-satunya cara untuk mencintai sesuatu. Artinya, kecintaan terhadap Indonesia akan tumbuh saat mengenal Indonesia lengkap dengan mengenal masyarakatnya dari dekat, (Soe Hok Gie, 1967). Hari ini, terlihat kita begitu gemar berslogan, ada pun hipokrisi atau tidak, tentu tidak dengan mudah dapat disimpulkan. Butuh melihat segalanya dengan jelas, termasuk indikasi dari maksud (output) slogan-slogan yang didengungkan ke mana-mana.

Polarisasi masyarakat di Indonesia pasca pemilihan presiden (pilpres) 2014 adalah satu hal yang perlu kita daras. Sebab kebisingan yang muncul dari polarisasi itu sudah tidak lagi boleh abaikan. Polarisasi yang seumpama bom waktu itu, menurut hemat penulis lebih dari sekadar fanatisme tokoh belaka. Nilai-nilai (world view ‘pandangan hidup’) merupakan sesuatu yang jelas memengaruhi polarisasi itu. Boleh jadi penyebabnya adalah kita kadung menjadi manusia-manusia opurtunis. Dengan demikian kita begitu tinggi hati untuk tidak menyebut benar itu benar dan sebaliknya. Semua sudah terlanjur soal egoisme belaka yang hampir-hampir mengehegomi tiap-tiap yang terpolarisasi.

Meninjau Surat Terbuka BEM SI

Pada Senin (13/4) Badan Eksekutif Seluruh Indonesia (BEM SI) melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ditanda tangani oleh Koodinator Pusat (Koorpus) BEM SI, Remy Hastian Putra Muhammad Puhi. Di mana dalam surat terbuka tersebut ada lima poin yang disampaikan oleh BEM SI, Aliansi BEM yang Remy sebut, sebagaimana dilansir berbagai media, membawahi lebih kurang 200 BEM kampus di Indonesia. Berikut poin-poin yang termuat berturut-turut dalam surat terbuka BEM SI yang berjudul Surat Terbuka untuk Presiden RI dengan nomor 005/C/Pmb/BEMSI/IV/2020: Pertama, Pemerintah Pusat harus menilik setiap kebijakan dengan sebaik-baiknya tentang kesehatan dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali; kedua, Pemerintah Pusat harus menetapkan kebijakan yang tidak berkedok kepentingan politik; ketiga, utamakan keselamatan rakyat dibanding kepentingan koorporasi dan oligarki; keempat, menjamin mutu pendidikan ke seluruh wilayah yang ada di Indonesia; dan kelima, jika keselamatan nyawa rakyat tidak diutamakan kami siap bergerak bersama rakyat dan membersamai rakyat.

Surat terbuka tersebut kemudian menuai banyak reaksi, khususnya poin kelima, tak terkecuali reaksi dari suatu laman yang mengulas surat terbuka tersebut dengan nada sinis. Kemudian reaksi serupa juga muncul –sebab ulasan tendensius dari laman tadi- di media sosial, salah satunya cuitan-cuitan di twitter, dan termasuk juga beberapa channel youtube yang bunyinya senada: sinisme belaka dan lebih-lebih sifatnya ad hominem.

Respon sinisme yang seragam itu mempersoalkan poin kelima yang berbunyi “jika keselamatan nyawa rakyat tidak diutamakan kami siap bergerak bersama rakyat dan membersamai rakyat”, di mana mereka, yang bersuara sinis tersebut, mempersoalkan kalimat tersebut karena ditafsir sebagai seruan untuk berdemonstrasi di tengah pandemi. Di lihat dari tanggal keluarnya surat tersebut dan bahkan lokasi Istana Merdeka yang berlokasi di episentrum pandemi Corona Virus Desease atau Covid-19, yang kemungkinan menjadi sasaran demonstrasi –jika maksudnya demikian, menjadi sangat tidak mungkin. Sebab selain episentrum pandemi, cara penyebaran virus yang gila, dan grafik penyebaran sekaligus korban berjatuhan yang belum menunjukkan indikasi-indikasi akan segeranya berakhirnya pandemi tersebut di negeri ini, demonstrasi menjadi tidak mungkin mereka pilih. Aktivitas berkumpul pun tidak mereka lakukan untuk berdiskusi secara langsung soal-soal polemik gila yang dibuat-buat penguasa, tak terkecuali pada sekumpulan orang yang menempel predikat luhur ‘wakil rakyat’ di nama sekumpulannya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun aktivismenya tidak seindah predikatnya. Polemik itu salah satunya adalah pembahasan omnibus law yang –sempat seolah- dikebut di tengah pandemi. Mereka, BEM SI atau pun BEM yang tergabung di dalamnya hanya melakukan aksi protes di dunia maya, sebagai alternatif di tengah pandemi.

Dilacak dari instagram resmi BEM SI, BEM SI Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) terakhir turun langsung ke jalan pada Rabu (4/3) menolak omnibus law di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), setelahnya mereka hanya melakukan aksi di sosial media setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) pada Rabu (11/3) dan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta melakukan lompatan penting pada Jumat (14/3) dengan mengumumkan sekolah di DKI Jakarta di tutup, termasuk kampus-kampus. Aksi sodial media yang dikoordinir BEM SI tercatat pada Senin (23/3) dengan dua hari sebelumnya mereka gunakann untuk mengajak yang lainnya untuk meramaikan aksi tersebut guna menolak omnibus law.

Remy menuturkan kepada penulis (24/4) bahwa saat itu memang belum ada kebijakan Pemerintah Pusat, dan atau khususnya Pemprov yang membatasi pergerakan fisik sebagaimana hari ini atau saat wacana jaga jarak fisik –termasuk jaga jarak sosial, sebelum akhirnya diralat oleh WHO- yang kemudian masif disosialisasikan atau bahkan ada kebijakan yang lebih konkret, sehingga akhirnya saat itu mereka masih memilih aksi demonstrasi di jalanan pada Rabu (4/3). Hal ini, yang juga dibuktikan dari periodisasi yang penulis angkat di paragraf sebelumnya seharusnya meniadakan tulisan tendensius yang penulis singgung pada awal tulisan ini, itu pun jika penulisnya tidak sekadar mengaku paling Indonesia sehingga dapat berlaku adil sejak dalam pikiran.

Belakangan, dilansir dari reportase yang dimuat detik.com berjudul Surat Terbuka BEM SI: Minta Jokowi Larang Mudik hingga Kritik Pembebasan Napi muncul penjelasan Remy selaku Koorpus BEM SI yang menjelaskan bahwa yang dimaksud bergerak dan membersamai rakyat adalah turun langsung ke tengah-tengah masyarakat apa bila pemerintah malah abai dari dari dampak-dampak Covid-19 sekaligus seperangkat peraturan yang mereka anggap tidak begitu memihak pada rakyat.

Aktif mencari kontak, atau membuat hubungan-hubungan sekaligus mendorong elemen-elemen dalam lapisan masyarakat guna bergerak dan berontak terhadap situasi bagi Hok Gie adalah tugas intelektual, (Soe Hok Gie, 2011: 310). Menjadi jelas bahwa apa yang coba disuarakan BEM SI melalui surat terbukanya masih dalam tahap wajar. Terlebih jika kita tidak pura-pura lupa bahwa kontrol sosial adalah fungsi mahasiswa yang hari ini mempunyai saluran-saluran baru, salah satunya bersikap kritis di media sosial, misalnya. Meski penulis pun memiliki catatan dari kelima poin surat terbuka tersebut di mana hanya poin kelima yang bentuk kalimatnya agak berbeda meski maksudnya ternyata seperti yang sudah dijelaskan Remy adalah meminta –sebagaimana nada empat poin lainnya- yang meminta diperkenankannya mereka untuk bergerak masuk ke tengah-tengah masyarakat guna mengisi ruang-ruang yang mungkin ditinggalkan pemerintah. Dari sana pun yang penulis baca, ada nuansa “ultimatum” untuk turun ke tengah-tengah masyarakat saat tetap di rumah saja sebenarnya langkah yang lebih tepat untuk memutus rantai persebaran Covid-19.

Dari laman yang penulis singgung tendensius sebelumnya, sebab, alih-alih menerangkan bantahan-bantahannya terhadap ketidak setujuannya terhadap surat yang dibubuhi tanda tangan Remy dengan argumen yang baik, mereka malah mencoba “menelanjangi” Remy dengan melekatkan stigma negatif bahwa Remy bersikap demikian karena memilih menjadi oposan penguasa yang dilihat dari penelusuran jejak digitalnya, setidaknya itu yang dilakukan oleh penulis dari laman yang tersebut. Di mana bagi penulis itu adalah suatu cara yang sama sekali berkebalikan dari para pendahulu kita yang meninggalkan preseden berbalas tulisan secara tajam dan cerdas, sebagaimana Natsir dahulu beradu argumen dengan lawan-lawan berbalas tulisannya –atau pun lisan- sekaligus yang menjadi kawan berpikirnya sambil ngopi. Sebab bagi Natsir dan beberapa tokoh saat itu, termasuk lawannya tadi, tidak ada ruang untuk membahas topik di luar masalah, termasuk permasalahan pribadi yang tidak substansial.

Kepustakaan:
Gie, Soe Hok, “Bagian V: Catatan Seorang Demonstran”, Ismid Hadad, dkk (Ed.), dalam Catatan Seorang Demonstran, Jakarta: LP3S, Cet. X, 2011

Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia, Surat Terbuka untuk Presiden RI, Jakarta: BEM SI, 2020

Damarjati, Danu, Surat Terbuka BEM SI: Minta Jokowi Larang Mudik hingga Kritik Pembebasan Napi, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4983551/surat-terbuka-bem-si-minta-jokowi-larang-mudik-hingga-kritik-pembebasan-napi pada Kamis, 23 April 2020 pukul 07.21 WIB

Instagram BEM SI, Press Release: Aksi Tolak Omnibus Law, diakses dari https://www.instagram.com/p/B9WrIyCHhRh/?igshid=tmdhdh8t5wnm pada Jumat, 24 April 2020 pukul 14.01 WIB

Instagram BEM SI, Seruan Aksi Media, diakses dari https://www.instagram.com/p/B-CYb5gH0ee/?igshid=1iyqb9c0fqnaq pada Jumat 24 April 2020 pukul 14.05 WIB

*) Selesai ditulis pada Ahad, 26 April 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*

Tujuh Hal Mengenai Naja, Si Anak Cerebral Palsy Penghafal 30 Juz Alquran

Tetaplah Berkontribusi!