Sepi yang Tak Dikehendaki

   
Sumber gambar: pexels.com/id-id/@andrew
Dikala sepi menjalar ke segala arah;

Melingkupi langit-langit kita yang basah;

Mengisi kisi-kisi tempat di mana kita menimbun tabah;

Yang datang mencungul setelah resah


Pada resah yang aku sulap menjadi pasrah itu, Tuan

Mengantar aku pada dalamnya kerinduan

Di mana, pada waktu-waktu lapang, sering kali aku adalah jalang;

Menisbatkan hati yang aku pun ragu itu hati;

Pada mekarnya kuntum yang aku berpikir berulang kali memastikan jika itu kuntum;

Hati yang entah;

Hati yang mekar bahagia itu;

Kadung merekah disinari kecongkakan;

Bahagia yang dijumput dari terminologi ketololanku itu

Yang belakangan aku sadari menegasikan Tuhan;


Dalam kalam-Nya yang gegabah aku sangsikan

Termasuk begitu percaya dengan Tuan-tuan yang bersekongkol dengan para setan

Kalam itu, tak sedetik pun ia memilih aku untuk ditertawakan

Tak sekedip pun;

Tak sekejap pun

Meski aku terlanjur belingsatan;

Sebab menahan sepi yang tak karuan;

Juga karena getir yang akhirnya menyeruak dari bantal-bantal


Wahai, Pemilik Sepi yang abadi

Wahai, Pemilik Gemerlap yang menjadi pangkal musabab

Pandemi ini,

Pandemi yang kadung kami kutuk itu;

Sekaligus yang barangkali digandrungi bumi,

Sebab langit-langit tak lagi muram;

Di mana muram pada langit-langit memilih berarak-arak pindah ke mata


Pada puisi yang berisi doa-doa

Aku pasrahkan,

Aku harapkan,


Bahwa aku mencintai sepi

Tetapi,

Bukan karena Pandemi:

Lekas beringsut pandemi;

Lekas peluk aku, sepi,

Yang berasal dari pilihanku sendiri:

Menyepi

Menyepi:

Sunyi



Larangan, 12 April 2020
Dikepung Pandemi, menahan dengung janji-janji

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*

Tujuh Hal Mengenai Naja, Si Anak Cerebral Palsy Penghafal 30 Juz Alquran

Tetaplah Berkontribusi!