Puasa Lebih Dini Demi Melawan Pandemi Covid-19 di Tanah Air
Sumber gambar: pexels.com/id-id/@sevenstormphotography |
Sudah
lebih dari 40 hari pasca kasus Corona
Virus Desease-19 (Covid-19)
pertama di Indonesia diumumkan oleh Pemerintah Pusat. Itu pun banyak
yang menyangsikan bahwa kasus tersebut bukan benar-benar kasus
pertama, karena boleh jadi ada kasus yang tidak terdeteksi. Hingga
hari ini grafik tidak menunjukkan perlambatan, dan pandemi Covid-19
sudah merenggut cukup banyak garda terdepan; dokter-dokter, guru
besar, dan tenaga kesehatan lainnya, yang gugur dalam “perang”
melawan pandemi ini, di samping korban-korban lainnya. Hal tersebut
penulis singgung bukan tanpa alasan, sebab penulis menyoroti hal
tersebut perlu menjadi perhatian khusus bagi pemangku kebijakan untuk
memenangkan segalanya dengan memenangkan mereka-mereka yang berada di
garda terdepan.
Cara
penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah dianggap tidak begitu
baik. Di antaranya adalah kebijakan terkait tradisi mudik, menyusul
dalam waktu dekat umat Islam akan menyambut bulan suci Ramadan dan
sebagaimana jamak diketahui bahwa mudik adalah bagian yang
terpisahkan dari bulan Ramadan di negeri ini, selain mereka yang
memilih mudik dengan alasan kian terdesak di kota-kota besar,
khusunya di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jelas mudik di tengah pandemi seperti ini
berbeda dengan mudik-mudik sebelumnya sekaligus sangat berisiko
menjadi penyebab penyebaran wabah yang kian masif. Italia contohnya,
negara Eropa yang sempat dan sedang terus –meski tidak "seeksplosif" sebelumnya- digempur habis-habisan oleh Virus Korona
menyusul banyaknya jumlah pasien dan banyaknya jumlah korban jiwa,
seharusnya tepat dijadikan preseden bagaimana Indonesia menyoroti
fenomena mudik ini. Pasalnya, persebaran Virus Korona di Italia
disinyalir semakin memburuk akibat fenomena maraknya warga mereka
pulang ke kampung disebabkan panik yang berlebih menyusul bocornya
rencana lockdown
Negeri Pizza itu.
Alih-alih
bersikap tegas, pemerintah pusat malah menyerahkan mekanisme warga
yang mudik kepada pemerintah daerah masing-masing. Bahkan kebingungan
Istana terbaca dari inkosistensi pernyataan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menyinggung hal ini beserta para menterinya atau lingkaran
penguasa negara sebagaimana yang disebut oleh Trubus Rahardiansyah,
selaku Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, dilansir dari
reportase alinea.id (10/4) yang berjudul “Ancaman
Petaka di Balik PSBB Setengah Hati”.
Dilansir dari berbagai sumber, agaknya aspek ekonomi terus terang
disampaikan Luhut Binsar Panjaitan, selaku ad
interim
Menteri Perhubungan (Menhub) menjadi bahan pertimbangan terkait hal
ini.
Inkosistensi
yang disebutkan sebelumnya, pertimbangan ekonomi yang disampaikan
Luhut, jelas melengkapi dan menambah daftar panjang kebijakan
pemerintah yang menunjukkan paradoksial yang sempat dikatakan Fadjroel
Rachman, selaku Juru Bicara (Jubir) Presiden, bahwa sejatinya
Indonesia mampu menanggung kebutuhan warganya jika pilihan Karantina
Wilayah diambil, sebagaimana disiarkan banyak sumber.
Di
tengah kebingungan pemerintah, katakanlah demikian, pekerja informal
tidak bisa dipaksa untuk menetap di rumah, saat pemerintah pun
“berkelit” hal ihwal tanggungjawab di tengah pandemi. Mawas diri,
bagi siapa yang tidak bisa terus menetap di rumah adalah pilihan
sulit yang mesti diambil. Dalam keadaan yang serba tidak pasti
mengenai finansial, banyak mereka yang memilih mudik, dengan risiko
yang amat tinggi. Dalam keadaan demikian, pemerintah daerah akhirnya
memutuskan untuk mengisolasi warganya sebelum akhirnya pulang kembali
ke kampung halaman. Kebijakan yang tegas harusnya dapat dirumskan.
Pasalnya, selain obat dan vaksinnya yang belum ditemukan sejauh ini,
jumlah fasilitas beserta Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak siap
jika terjadi ledakan pasien, menetap di rumah dan menjaga jarak fisik
boleh jadi langkah yang paling tepat yang harus kita ambil. Tentu ini
perlu kebijakan yang memihak pada rakyat sekaligus langkah tepat dan
serius memutus pandemi yang kian mengkhawatirkan.
Mengingat
beberapa waktu ke depan Ramadan akan datang, penulis pikir tidak ada
salahnya kita semua berpuasa lebih dini. Jelas kata puasa di sini
dapat diartikan secara harfiah mau pun istilah, namun yang ingin
penulis terangkan adalah, agaknya kita perlu menahan semua
potensi-potensi tidak baik yang ada pada diri kita masing-masing, tak
terkecuali pemerintah pusat, yang seyogianya tidak plintat-plintut,
jika meminjam istilah mahasiswa tahun ‘66
Setelah
wacana Karantina Wilayah berlarut-larut mencuat ke publik, akhirnya
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditetapkan –di DKI Jakarta dan beberapa daerah lainnya- sebagai langkah
yang dinilai tepat oleh Pemerintah Pusat. Kendati demikan, mengenai
langkah pemerintah menyikapi tradisi mudik menjadi paradoks dengan
PSBB itu sendiri, sebagaimana dipertanyakan oleh Direktur Eksekutif
Government and Political Studies (GPS), Gde Siriana Yusuf, “Lalu
apa yang dituju dari aturan mudik yang masih boleh? Padahal
pemerintah bilang kita harus sayangi ortu kita di kampung yang rentan
Covid-19. Sekali lagi, pemerintah tidak konsisten dengan
ucapan-ucapannya” disiarkan dari rmol.id (12/4) dengan artikel
berjudul “Kritik
Inkonsistensi Jokowi, Gde Siriana: Konsep PSBB Itu Melarang Mobile,
Apakah Mudik Jadi Prioritas?”,
dengan sebelumnya Gde mempertanyakan apakah mudik menjadi prioritas
di tengah keadaan seperti ini sebab konsep PSBB adalah menjaga
mobilitas semua orang, baik yang sehat maupun carrier,
kecuali untuk urusan penting.
Ketegasan
patutnya menjadi pilihan seraya membuat-menjalankan kebijakan turunan
dari aturan yang sudah ada yang memihak pada rakyat, jangan malah
dengan seenaknya mengatakan akan ada lonjakan harga jika
kendaraan-kendaraan menerapkan prinsip jaga jarak fisik dan malah
mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa
seolah memanfaatkan MUI untuk cuci tangan dari tanggungjawab.
Selain
itu, yang menjadi tantangan adalah bagaimana kepatuhan umat muslim
terhadap keputusan-keputusan pihak yang memilki otoritas dalam aturan
beribadah, termasuk saat Ramadan. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang otoritatif sudah
mengeluarkan fatwa-fatwa, tak terkecuali terkait Ramadan saat pandemi
masih juga menggerogoti rasa aman masyarakat banyak. Semoga ruh
Ramadan yang biasa mengisi saban tahun dapat mengisi-ngisi jiwa kita,
tak terkecuali pemangku kebijakan yang sebagian Muslim –untuk tidak
menyebut keseluruhan- agar berpikir dan bertindak benar.
Yaa Allah berkahi kami dalam bulan Sya’ban dan sampaikan kami pada Ramadan-Mu –yang bergelimang berkah dan rahmat
Referensi:
Yaa Allah berkahi kami dalam bulan Sya’ban dan sampaikan kami pada Ramadan-Mu –yang bergelimang berkah dan rahmat
Referensi:
Gie,
Soe Hok, “Bagian V: Catatan Seorang Demonstran”, Ismid Hadad, dkk
(Ed.),
dalam Catatan
Seorang Demonstran,
Jakarta: LP3S, Cet. X, 2011
Akbar,
Caesar, Luhut
Sebut Kebijakan Mudik Lebaran Tak Ingin Ekonomi Mati,
diakses dari
https://bisnis.tempo.co/read/1327007/luhut-sebut-kebijakan-mudik-lebaran-tak-ingin-ekonomi-mati
pada Rabu 15 April 2020 pukul 13.09 WIB
Alfian,
Ahmad, Kritik
Inkonsistensi Jokowi, Gde Siriana: Konsep PSBB Itu Melarang Mobile,
Apakah Mudik Jadi Prioritas?,
diakses dari
https://politik.rmol.id/read/2020/04/12/429948/kritik-inkonsistensi-jokowi-gde-siriana-konsep-psbb-itu-melarang-mobile-apakah-mudik-jadi-prioritas
pada Rabu, 15 April 2020 pukul 12.38 WIB
Badan
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan,
diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/plintat-plintut
pada Rabu 15 April 2020 pukul 13.26 WIB
Kumparan,
Masih
Ngotot Mudik saat Wabah Corona, Italia Sudah Merasakan Akibatnya,
diakses
dari
https://kumparan.com/kumparannews/masih-ngotot-mudik-saat-wabah-corona-italia-sudah-merasakan-akibatnya-1t80CevckS8
pada Ahad, 05 Maret 2020 pukul 04.10 WIB
Miranti,
Karunia Ade, Tak
Ada Larangan Mudik, Luhut: Pertimbangkan Supaya Ekonomi Tidak Mati,
diakses
dari
https://money.kompas.com/read/2020/04/02/141149626/tak-ada-larangan-mudik-luhut-pertimbangannya-supaya-ekonomi-tidak-mati?page=all
pada Rabu 15 April 2020 pukul 13.11 WIB
Pramono,
Wahidin Kudus, Bahaya
di Balik PSBB Setengah Hati,
diakses dari
https://www.alinea.id/nasional/bahaya-di-balik-psbb-setengah-hati-b1ZLp9tmm
pada Rabu, 15 April 2020 pukul 12.41 WIB
Komentar
Posting Komentar