Deret-Deret Janji Menjadi Wajar

 Berjanjilah berpikir benar, hingga lelaku juga wajar

pexels.com/id-id/@spencer-selover-142259


Barangkali, pandemi ini adalah suatu bahasa yang sama sekali tidak kita kenal sebelumnya

boleh jadi pandemi ini adalah enigma

yang sampai saat ini kita belum berhasil memecahkannya

 

pandemi ini dan banyaknya yang berguguran tentu adalah nestapa bagi kita semua

bahkan ekspresi spontan kita yang impulsif berujung penuh rutuk;

berapa kali kita mengutuk mahluk yang tak terlihat dengan mata telanjang itu?

katakanlah satu dua kali

sebab ia adalah musabab elegi;

berpatah-patah mereka yang kita cintai karenanya

 

menyebabkan rindu yang ironi;

bagi mereka yang berjuang di garis depan,

ada peluk yang tertahan pelik;

ada hal-hal manja yang terkadang mungkin menjengkelkan kini kita kangeni;

tentang aktivitas yang sebagaimana mesti;

sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang biasa ramai dengan tanya jawab penuh takzim;

terminal, bandara, stasiun, dan halte yang sering berjejal namun juga dikangeni;

olahraga, berlari-lari kecil hingga peluh membanjiri sekujur tubuh;

dan banyak lainnya yang muaranya adalah rindu semuanya berjalan normal kembali

 

siap sudah berjuta-juta eksemplar kertas dibasahi tinta;

mencatat kemasygulan ini

dan puisi ini tidak bermaksud mengisi cerita-cerita itu lebih jauh lagi

cukup getir yang getar dalam deret-deret denotasi itu merangkumnya

 

berjanjilah,

berjanjilah untuk lebih wajar

sebab ekosistem ini bukan melulu soal kita, manusia

 

langit menjadi cerah, entah ingin menyampaikan apa

sepintas tercoak memang menyadari ini;

bahwa, mungkin, langit begitu cerah seolah sudut-sudut bibirnya saling enggan mendekati;

sebaliknya, sudut itu simpul pada jarak yang saling berjauhan;

sumringah

apakah bumi selama ini sesak, tertekan?

sebab saban hari kita eksploitasi tiada henti?

aku tak mampu menjawabnya

aku pun tak tahu apakah langit dapat membisiku, memberitahunya dengan mesra

atau bahkan aku menyangsikan diriku untuk mengerti apa yang ingin disampaikannya

sekali pun mereka punya panggung untuk siaran pers dengan seperangkat media kepunyaan mereka

aku tak tahu

sama sekali tak tahu

dan begitu ngeri, jika aku bisa tahu bagaimana mereka protes, menggugatku, menggugat kamu, dan menggugat kita

 

berjanjilan lebih wajar

berjanjilah,

belajar menjadi wajar

pada Ramadan ini, yang berderet hari-hari penuh berkah mulia

yang memberi kita kesempatan untuk membakar ketidak wajaran;

kezaliman;

kelaliman

pada kesempatan Ramadan ini

yang katanya kita kangeni melulu

 

semoga nama Tuhan adalah benteng di setiap rumah-rumah kita;

juga pada setiap diri kita

guna memenangkan kewajaran di dalamnya;

dari diri;

orang rumah;

dan masyarakat luas

yang boleh jadi kita acap kali kurang ajar

 

terbakarlah,

terbakarlah,

sesuatu yang tidak wajar

 

lekas pulang getir yang gemetar

lekas sampai segala ikhtiar

lekas pulih rasa sadar

sebab dunia sebentar

dan akhirat adalah benar:

berjanjilah

berjanjilah

untuk lebih wajar


Ditulis di Larangan pada dua bulan awal pandemi menghantam Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*

Tujuh Hal Mengenai Naja, Si Anak Cerebral Palsy Penghafal 30 Juz Alquran

Tetaplah Berkontribusi!