Medio: Prolog


Pixabay · Fotografi (pexels.com)

    Rute Rawamangun-Pejompongan mulai tak sepadat siang hari. Ya, rute itu dan juga rute lainnya di Jakarta boleh dikatakan lebih bersahabat pada malam hari bagi banyak orang, setidaknya bagiku, yang tak jarang jemu pada padatnya lalu lintas ibu kota. Gemerlap cahaya dari setiap bangunan yang kami lewati seakan sebaliknya, ia yang melewati kami; berkejaran tunggang-langgang ke arah yang berlawanan. Seolah, cahaya-cahaya itu adalah sekumpulan serangga malam yang mengeluarkan cahaya, hendak eksodus ke suatu tempat.

   Kesiur angin dan lembutnya angin malam, setidaknya begitu yang dirasa nikmat oleh kulitku, membuat sensasi lain dan pengakuan lain, bahwa malam memang tak salah dianggap teman karib. “Menurut lo bagaimana prosepek dari apa yang kita lakuin, zak?” tanya Kelana padaku memecah sepi sesaat kami melewati dan sempat terhahan di lampu merah dekat Pasar Rumput, setelah sebelumnya kami sempat membisu satu sama lain. Aku sempat diam sesaat, sebab pertanyaannya bercabang bagiku. Kemudian aku memperjelasnya agar aku tahu percis pertanyaannya. “Maksud lo soal rektor, na?”. Ia langsung menyambar, “Haha. Sorry, sorry, kurang jelas ya ke mana arah pertanyaan gue. Iya, zak, terkait rektor.” jawabnya menjelaskan.

    Aku pun terdiam sesaat, dan entah kenapa ada yang ganjil pada malam itu. Aku kurang tahu pasti apa itu. Mataku perih. Mungkin ngantuk karena kurang tidur, pikirku. Kemudian Kelana yang tak kunjung mendapat jawaban barang sesaat, menepuk pundakku, serata berkata, “Hei! Kok diem sih lo, zak?” tanyanya tak sabaran, Kemudian aku mencoba menjawab sekenanya. “Jujur, gue kurang yakin dengan gerakan ini. Kita yang ada dan mencoba urun aktif dalam gerakan itu masih bisa dikataka belum populis,” kataku menjelaskan. Seolah mengetahui apa yang akan kukatakan ia kemudian seakan bergumam, “Iya ya, yang gerak masih banyak dari elemen Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Belum yang lain,” katanya. “Yap, itu juga yang gue pikir, narasi yang dibawa masih kering dan juga gerakannya masih monoton,” kataku membenarkan.

    Ingin rasanya berpanjang-panjang pembicaraan di atas motor pada kesempatan itu. Tetapi, yang ada malah sebaliknya. Sebab aku masih merasa kurang nyaman. Entah karena apa. “zak! Lo kena surat peringatan dari rektorat?” tanyanya panik. Mendengar kepanikannya aku berpura-pura tidak mendengarnya. Benar, bahwa Kelana adalah teman karibku. Bahkan, belakangan, setelah kami satu organisasi dan saling mengetahui bahwa tempat tinggal kami berdekatan kami kerap kali pulang bersama. Pada malam hari. Sebab, biasanya kami memang pulang dari Kampus setelah waktu Isya diperdengarkan dan segenap orang menunaikan salat di mushola dan masjid-masjid.

  Apa yang membuat kaget Kelana bukan tanpa alasan. Perkaranya adalah aku mendapat surat peringatan dari rektorat, dan aku tidak memberi kabar kepadanya. Ada pun kabar itu sampai padanya, mungkin karena sudah bocor informasi yang sengaja aku rahasiakan itu dan menjadi perbincangan di banyak grup Whats App malam itu. Peringatan itu sebenarnya didahului dengan surat panggilan, yang sudah aku penuhi sebelumnya. Rektorat meminta aku menarik tulisanku pada satu media untuk menyampaikan aspirasi, suatu platform yang biasa digunakan untuk menyebarluaskan opini serta terkait informai-informasi lainnya mengenai kampus. Ouru.com itulah platform yang aku maksud.

    Saat itu, tanpa tendeng aling-aling. Aku yang mencoba sehormat mungkin pada sesiapa yang ada di ruangan itu malah mendapat sambutan yang kurang baik. Aku ditemani ketua BEM-ku, yang pada saat itu, memang hanya kepadanya aku katakan mengenai surat panggilan tersebut. “Oh ini anaknya, familiar di mataku, sih,” kata seorang bapak yang aku taksir merupakan dekan di fakutas yang gedungnya depan fakultasku. Aku lupa-lupa ingat, tetapi wajahnya juga familiar di spanduk-spanduk yang pernah aku lihat. “Cabut aja beasiswanya,” timpal suara yang lain, yang aku kenal betul suara ini. Dugaanku benar, ia merupakan jajaran Dekan di fakultasku. Sial sekali aku pikir saat itu. Aku yang sudah mencoba mempersiapkan diri setenang mungkin lupa membaca bahwa mereka akan mengerubungi aku dengan intimidasi untuk memenangkan “pengadilan” pada siang hari itu sedini mungkin. Aku yang paham dengan temanku, Sena, ketua BEM tempat aku berogranisasi mukanya merah padam. Kemudian aku memegang lengannya, “Bawa kalem, sen!” kataku tegas, tetapi pelan, untuk menenangkan, meskipun terbilang gagal. Pada pertemuan itu, dengan sangat berat hati aku kabarkan pada sidang pembaca, bahwa cara yang digunakan saat itu di tengah proses tatap muka itu, tak lebih baik dari awal kedatangan kami ke ruangan rektorat itu. Selain keputusan yang aku ambil tidak akan menarik tulisan yang aku maksud itu, ada lagi perkara yang boleh jadi membuat malam itu, malam pada saat Kelana mendapatkan kabar dari grup Whats App, tambah membuat hatinya gelisah, hingga ia begitu panik.

   Ternyata Kelana sudah melayangkan pertanyaan yang sama kedua kalinya dan aku asyik-masyuk pada kepura-puraanku pada awalnya, hingga aku tak sadar tengah memikirkan hal yang membuat geger itu. “Zak, minggir sebentar!” katanya tak sabaran sambil menepuk-nepuk pundakku lebih dari sekali. Tak lama kemudian aku minggir. “Lo gak jawab pertanyaan gue, zak? Parahnya lagi, lo gak ngasih tau gue persoalan gawat ini,” katanya agar menaikkan intonasi suaranya, seraya mencoba turun dan berdiri di sampingku yang di belakang kemudi. Aku yang tahu ini tak mudah dijelaskan dalam keadaan seperti ini dan juga berpotensi membuatku bergidik membayangkan pikiran orang-orang yang melewati kami. Bayangan yang aneh tentang dua muda yang seolah bertengkar sebagaimana dua muda-mudi. “Naik, na, kita cari warung kopi (warkop)!” kataku tanpa menjawab pertanyaanya dan memilih mengajaknya ke warkop.

   Kemudian aku menjelaskan alasannya yang tak bermaksud menyembunyikan itu darinya, teman dekatku. Tetapi, aku menimbang itulah yang terbaik bagi kondisi psikis teman-temanku yang sedang berjuang. Meski, aku pun tak habis pikir, ternyata perang psikis ini ditabuh lebih awal sekeras-kerasnya oleh rektorat, lewat instagram resminya, yang memeringati agar semuanya menjaga stabilitas kampus, seraya memperingatkan pemilik tulisan Tak Ada Ode untuk Rapor Petinggi Kampus yang Merah”. Ya, itu tulisanku, yang membuat akhirnya Sena juga mendapatkan surat peringatan ketika mendampingku dan ia sempat naik pitam karena sempat menggebrak meja. Syukurnya, meski awalnya tidak menerima alasanku, Kelana akhirnya mencoba memahami, meski mungkin sulit. Kami pun melanjutkan perjalanan saat kopi yang ada pada gelas-gelas kami tandas.

***

   Aku pun terbangun, setelah semalam aku begitu letih, Aku merasa keganjilan yang terjadi pada malam itu belum juga menjadi genap; aku belum tahu alasannya kenapa keganjilan itu memaksaku untuk terus tidak tenang, seolah soal matematika yang meminta untuk diselesaikan.

    Aku pun ke kamar mandi, hendak membersihkan tubuhku yang semalam hanya sempat ganti baju dan bebersih ala kadarnya. Tak lama kemudian, pada hari Sabtu itu, yang juga jadwalku membersihkan rambut dengan shampoo. Lalu, seketika seolah shampoo itu ditumpahkan pada mataku. Perih sekali. “Sial! Kenapa ini,” batinku rusuh. Kemudian aku tergagap-gagap membilas mataku dan perihnya seolah menjadi-jadi. Aku buru-buru untuk terus membilasnya dan menyegarakan ritual bersih-bersihku pada pagi itu.

    Air mataku kemudian luruh, bersamaan dengan kesadaranku saat aku bercermin. Ini keganjilan yang membuatku tidak nyaman dari semalam. Ada yang aneh dari wajahku, mata sebelah kiri sulit aku buat tertutup dan bagian sebelah kiri wajah seolah turun, entah karena apa. Aku pun berusaha tidak panik, sekali pun hatiku bukan main kacaunya. Aku mencoba tenang dan aku memutuskan berselancar di internet untuk mencari tahu apa sebab ini terjadi. Aku memastikan bahwa ini bukan stroke ringan, sebab aku yang terbatas pengetahuannya ini mengenai dunia medis, berusaha menafikkan bahwa ini adalah stroke ringan, penyakit yang mungkin mudah diketahui oleh orang awam sepertiku.

    Aku pun mencoba membuat hatiku tenang, sebab self-diagnosed ini mengarah kepada penyakit yang ternyata memang ganjil. Dari informasi yang aku baca, penyakit ini bernama Bell’s Palsy. Paling tidak buka stroke ringan, begitulah pikirku, meski aku pun belum tahu percis bagaimana penyakit ini. Tanpa berlama-lama kemudian aku mencoba untuk memberitahu ibuku, dan lantas kemudian aku menuju Puskesmas dekat rumah, dengan terus berharap penyakit ini tidak berbahaya.

    Sampai akhirnya aku menuju Puskesmas dan gerimis di hatiku diwarnai guruh. “kamu kenapa? Kok, kayak stroke?” seolah geledek, pertanyaan dari orang yang aku kenal itu menyambar-nyambar secara acak. Termasuk menyambar pikiranku, hingga pikiranku makin kacau. Orang itu, adalah tetanggaku, yang kebetulan bertemu di Puskesmas. Di sini juga aku merasakan keganjilan itu semakin ganjil, “Nggak, pak, ini bukan stroke, ini Bell’s Pals,” kataku membesar-besarkan hatiku dengan menjekasannya cukup panjang lebar dan sulit. Bagaimana tidak, aku saat itu mencoba merangkum apa kesimpulanku yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena diagnosis itu baru hipotesa awalku dengan berbekal mencocok-cocokan gejala yang ada dengan gejala yang aku baca terkait Bell’s Palsy. Pun, begitu sulit secara fungsi dan juga hatiku. Bibirku seolah kaku saat bicara panjang lebar, pertanda ada disfungsi, dan sekaligus membuat gerimis menjadi hujan di hatiku.

    Hingga kemudian aku diperiksa, dan benar saja, Bell’s Palsy adalah alasan keganjilan yang terjadi. Lalu, aku diberikan surat rujukan setelah aku banyak bertanya. Aku dirujuk ke salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dekat rumahku.

    Hujan berganti meluap-luapnya air dihatiku, rasa tenang dibawa hanyut bersamaan dengan datangnya peranyaan-pertanyaan, “Kenapa harus aku!?” batinku berpolemik. Aku pun mencoba untuk mengikuti arahan dari dokter, mulai dari ke dokter saraf, dokter fisik dan rehabilitasi, baru kemudian ke fisioteapi.

    Batinku meradang. Aku tidak masuk ke kampus, dengan tanpa kabar. Begitu pun nasibku di kampus, dan teman-temanku juga yang mencari tahu kabarku. Bagaimana tidak batinku meradang, sebab penyakit ini memang menyerang fisik, tetapi juga disertai psikis yang terganggu, karena penyakit ini menghantam penampilanku sampai awut-awutan. Bibir merot, berbicara bibir sebelah tak bergeming, mata kiri refleksnya tidak baik, mesti memusatkan energi agar ia tertutup, itu pun tidak sepenuhnya tertutup. Dengan penampilan seperti itu, membuatku beringsut dari setiap tanda contreng kehadiranku di kelas. Aku memilih menenagkan diri, mencoba memahami keadaan ini, syukur-syukur sampai menerimanya.

    Peradangan, peradangan saraf ke tujuh di bagian belakang telinga yang membuat otot-otot wajah kiriku disfungsi atau tidak berfungsi dengan baik. Sebagaimana hatiku selepas peradangan itu menjalarinya juga. Termasuk membuat peradangan dalam daftar hadirku yang membuat daftar alpa berderet-deret. “Sial! Ini karena energiku terkuras karena mencoba mendiagnosa peradangan yang juga terjadi pada kampusku!” batinku terus rusuh, saat aku berusaha untuk terus memahami apa yang terjadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Enam Tips Menjelaskan Seksualitas pada Anak, Penting untuk Orang Tua!*

Tujuh Hal Mengenai Naja, Si Anak Cerebral Palsy Penghafal 30 Juz Alquran

Tetaplah Berkontribusi!